Flowers

1.3K 126 77
                                    



"Semuanya empat puluh dolar, Ma'am."

Karina menerima kartu kredit dari seorang pembeli dan melakukan proses pembayarannya. Sesekali matanya melirik ke luar toko. Mobil itu sudah berhenti di tempat parkir seperti biasa dan si pengemudi belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar. Melihat mobilnya saja sudah membuat Karina sulit berkonsentrasi.

Karina masih menunggu mesin pembayarannya bekerja ketika si pengemudi yang sangat ditunggu akhirnya keluar. Ia tidak dapat menahan senyuman lebarnya.

Seperti biasa, pagi ini ia melihat sosok itu lagi. Sosok yang sudah selama berbulan-bulan dikaguminya. Lebih pendek darinya, berambut abu-abu pekat sebahu, kedua tungkai kaki dan tangan yang panjang, wajah nan rupawan bak dewi Yunani, serta pahatan bibir seksi nan menggoda. Jantung Karina bisa saja berhenti berdetak jika sosok itu tersenyum padanya. Untungnya, hal itu belum terjadi. Jadi, ia masih bisa hidup sampai sekarang.

Mata Karina tak lepas memandangi sosok itu yang kini sedang berjalan menuju sebuah café di seberang tokonya. Ia sedang mengobrol dengan seseorang di telepon sembari tersenyum. Karina merasa iri. Dengan siapa pujaan hatinya mengobrol?

"Miss, apakah sudah selesai?"

Karina dikejutkan oleh pertanyaan pembelinya. Wanita itu tampak tak sabar menunggu kartu kreditnya yang masih berada di tangan Karina.

"Oh," Karina tersentak. "Sorry, here's your card Ma'am. Semoga harimu indah."

Sang pembeli pergi dengan membawa sebuket mawar merah. Karina kembali melihat ke luar, siapa tahu pujaan hatinya masih ada di sana. Ternyata ia sudah menghilang, masuk ke dalam café.

Karina menghela napas panjang.

"Huuuufft."

"Pagi ini ia cantik sekali."

Suara yang tiba-tiba terdengar di belakangnya membuat ia terlonjak kaget. Karina melotot pada temannya yang baru saja berbisik.

"Oh my God, Giselle! Bisa tidak kau tidak mengagetkanku?!"

Giselle terkekeh. Ia sedang menyusun satu genggam bunga aster warna-warni.

"Kau saja yang melamun sangat serius sampai tidak mendengar aku datang mendekat. Aku juga melihatnya, kau tahu."

Karina cemberut. Tentu saja Giselle tahu dengan pujaan hatinya. Kepada siapa lagi ia bercerita kalau tidak kepada Giselle? Mereka berdua menjalani bisnis bunga berdua, tinggal satu apartemen dan sudah seperti keluarga sendiri di negeri orang. Walau Karina sudah menyukai si pujaan hati berbulan-bulan, ia baru memberitahu Giselle satu minggu yang lalu.

"Aku hanya bisa memandanginya dari jauh."

Giselle menyenggol lengannya.

"Jangan pesimis. Si buruk rupa saja berhasil mendapatkan Belle pada akhirnya."

Karina menaikkan sebelah alisnya. "Jadi kau mengatakan kalau aku buruk rupa?"

"Ck, bukan begitu. Maksudku, kau jangan pesimis dengan perasaanmu. Lihat, dia berada begitu dekat denganmu. Hanya berjarak berapa kaki ke café nya. Kau bisa berpura-pura membeli kopi di sana dan menumpahkan kopimu tepat di depannya. Selanjutnya ia akan bersimpati padamu dan mentraktirmu kopi yang baru."

Karina menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak semudah imajinasimu, Giselle. Usahanya jauh lebih besar dari usaha kita. Ia pemilik café-café besar di kota ini. Sedangkan aku hanya seorang penjual bunga dari Korea Selatan. Aku hanya bisa bermimpi mendapatkannya."

FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang