II. Kesepakatan yang terpaksa disetujui

29 8 8
                                    

Kava tertawa meremehkan ketika rombongan yang masih terlihat syok itu mulai memasuki mobil satu persatu. Merasa sangat puas melihat wajah frustasi Dika dan gadis bernama Arin yang baru saja dia paksa untuk menyetujui tawaran sepihaknya. Kedua tangan Kava melambai semangat ketika mobil yang mereka tumpangi perlahan melaju menjauhi kawasan gedung.

"Bos, lo yakin?"

Pertanyaan Chiko hanya dibalas senyum miring oleh Kava. Cowok itu lalu berjalan ke arah pintu dan mengambil cardigan rajut pink yang sepertinya tertinggal. "Lihat aja. Bakal gue bikin suka sampe bego tuh cewek."

"Tapi dia gak secantik mantan-mantan lo, bos," sahut Chiko.

Bima, yang matanya mulai sayu memukul pelan kepala Chiko dengan kardus. "Gini nih, kalo pas pembagian otak gak dateng."

"Apa salahnya? Kan apa-apa juga yang pertama dilihat itu fisik. Realistis bro," balas Chiko sambil balas memukul wajah Bima dengan jaket miliknya.

"Kepala bapakmu realistis," kata Adhi sambil menoyor kepala Chiko. "Tapi dia manis sih, Kav. Anaknya juga keliatan kalem, walaupun rada nyebelin. Bisalah ngimbangin lo yang suka sembrono gini."

Kava sengaja melemparkan air dari botol ke arah teman-temannya. "Gue macarin dia buat balas dendam ya bangsat."

"Tapi kan hati manusia gak ada yang tau Kav. Bisa aja nanti lo duluan yang suka sama dia," ucap Adhi. Cowok itu tertawa kecil ketika Kava semakin brutal menyiramnya, bahkan botol yang sudah kosong dia lempar hingga tepat mengenai kepala Adhi.

"Balik yok, ngantuk gue," ajak Bima.

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera berjalan ke arah motor masing-masing dan bersiap pergi dari sana. Tepat sebelum Kava menstarter motornya, Pandhu berjalan ke arahnya seraya menunjukkan layar ponselnya.

"Udah gue kirim semuanya. Nama lengkap, alamat asli, alamat kost, sama username akun sosial media," ucap Pandhu. Yang mana hal itu membuat Kava kembali menarik salah satu sudut bibirnya.

"Thanks."

<><><>

Arin mengernyitkan dahi bingung ketika ruangan teater yang semula sepi mendadak ramai. Merasa penasaran, kakinya lantas berjalan cepat membelah kerumunan dan masuk ke ruangan luas tersebut. Tepat ketika matanya menangkap dua orang yang tengah saling berdebat di tengah ruangan, Arin menghela napas lelah.

"Kamu ngapain di sini? Yang bukan anggota teater dilarang masuk," kata Arin sedikit kesal. Gadis itu dengan berani berdiri di depan Kava yang langsung menampilkan ekspresi paling menyebalkan yang pernah Arin lihat.

"Lo," Kava menunjuk tepat di ujung hidung gadis pendek tersebut. "Ikut gue."

"Gak bisa. Aku masih ada latihan. Kapan-kapan aja," kata Arin sambil melengos. Dia lalu mengibaskan kedua tangannya pada anggota lainnya yang masih menonton. "Bubar guys. Gak ada apa-apa kok. Lanjut latihan aja."

"Arin."

Suara yang memanggilnya dengan nada kesal itu langsung membuat Arin berbalik. Matanya menatap penuh tanya pada salah satu temannya yang berdiri sambil menunjuk Kava.

"Lo pacaran sama dia?" tanyanya penuh penekanan.

"Nggak."

"Tapi tadi dia bilang kalo dia pacar lo."

"Bukan. Lagian aku gak bilang iya kemarin," balas Arin kalem.

"Gue gak butuh jawaban lo, Manis. Kalo gue bilang lo pacar gue, berarti lo emang pacar gue," ucap Kava terkekeh meremehkan. Kakinya melangkah menghampiri Arin dan berdiri tepat di depan gadis tersebut.

Bad ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang