Pak Bakri mencintai keluarganya tapi ia tahu, seisi rumah tahu bahwa cinta saja tidak bisa membangun rumah mereka. Cinta juga tidak cukup untuk memberi makan dan menyekolahkan putri kesayangannya. Maka dari itu, ia relakan runtuhnya hubungan mereka akibat pekerjaannya. PT. Argo Inti Semesta tidak bergerak dengan sendirinya. Investor, klien, dan pekerja - pekerja berkualitas di negeri ini tidak tiba - tiba muncul. Semuanya mungkin terjadi karena Pak Bakri paling pantang cuti demi memantau orang - orang di bawahnya yang telah menyukseskan perusahaannya. Pak Bakri hanya berharap bahwa putrinya akan menyadari pengorbanannya ini suatu hari dan memaafkannya.
Untung saja, malam ini, ia bisa pulang cepat untuk merayakan ulang tahun Syana. Dengan senyum di wajahnya, ia masuk mobil dan tancap gas keluar dari radius kantornya untuk kembali ke tengah kota melalui jalan tol. Sambil menyusuri jalanan yang padat, Pak Bakri menyalakan radio mobilnya untuk menghubungi putrinya.
Isyana langsung mengangkat panggilannya, "Iya, ayah? Ada apa?"
"Syana, what would you like for dinner? It's your birthday tonight. Kamu nggak ngerayain bareng temen - temen, kan?"
"Nggak, ayah. Syana mah sendirian. Selalu sendirian. Mau Syana buatin sesuatu nggak? Atau ayah mau beli makanan di luar?"
Pak Bakri terdiam untuk sementara, matanya lurus menghadap mobil - mobil di depannya yang melaju sedikit - semi sedikit tapi tidak cukup cepat dan banyak untuk meredam rasa ketidaksabarannya. Pak Bakri menghela nafas yang dalam lalu menghembuskannya pelan - pelan. Ia berhitung 1... 2... 3... dan seterusnya sambil mengkicap - kicapkan matanya. Ia letih, ia amat sangat letih namun dengan rasa panas yang ia kenal di balik rongga rusuknya. Ia mengulang pola nafasnya lagi hingga ia merasa secercah ketenangan pada hatinya yang telah ia incar.
"Ayah? Ayah nggak apa - apa?"
"Nggak apa - apa, ayah nggak apa - apa. Cuma capek aja."
Ayahnya mungkin memiliki lidah perak namun Syana tahu ketika ia berbohong.
"Did you take your meds?"
"I can't keep taking that thing." Suara Syana patah dengan kekhawatiran,"Ayah, dokter kan udah bilang-" namun ayahnya keras. Ayahnya selalu keras. Mungkin karena jabatannya. Mungkin karena ia memang sudah amat letih. Mungkin karena didikan kakek neneknya dulu yang tidak pernah merasa cukup dengan dedikasinya. Syana tidak tahu. Namun, ketika ayahnya mulai berbicara lagi, ia kaget mendengar gelegar suaranya.
"Ayah tahu!" Seperti biasa, Pak Bakri mengulang pola nafasnya dengan teguh karena hanya itulah yang bisa membantunya sekarang selain obat - obatannya yang telah ia masukkan ke dalam bagasi mobilnya. Lalu, ia meminta maaf dan Syana akan mau tidak mau memaafkannya karena ia iba melihat "penyakit" ayahnya.
Seorang tokoh yang seharusnya sehat dan tangguh malah sinting dan lemah. Pak Bakri pun tidak pernah belajar dari kesalahannya sebab ia masih saja membiarkan hal ini membebani dirinya dan semakin ia mengingat hal ini, amarahnya jadi makin sulit dipadamkan.
"Ayah, coba nepi aja dulu ke pinggir jalan. Tarik nafas, tenang dulu-" Pak Bakri langsung memutuskan jaringannya, memotong pendek perkataan putrinya yang sebenarnya hanya ingin membantu. Saat jalanan sudah semakin lancar sejak mobilnya melewati gerbang tol, Pak Bakri cepat - cepat menepikan kendaraannya lalu dengan geram, ia kepalkan tangannya dan ia rajamkan dengan keras pada setir mobil.
Di rumah, Syana terduduk diam di ruang tamu. Ia menyalakan televisinya lalu berjalan menyeberang ke sisi dapur. Ia mengintip ke dalam kulkasnya, ke dalam lemari, dan tiap rak bahan yang ada lalu mengambil apa yang ia butuhkan untuk memasak makanan kesukaan ayahnya--pasta segar dengan saus Bolognese instan. Saat sedang mengaduk adonan pastanya, telepon genggamnya berdering. Bingung harus menjawabnya bagaimana karena kedua tangannya yang kotor, ia pergi ke tempat dimana ia menyimpan teleponnya terakhir lalu menggeser layarnya menggunakan hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semeja
Teen Fiction1 angkatan, 2 meja, 3 tahun berturut - turut. --- Isyana dan Nareswari menemukan diri mereka selalu bersama di tiap masalah yang selalu menemukan jalannya pada mereka. Namun mereka tetap akan jadi sahabat, bukan? Teman senasib sepenanggungan? Atau m...