Chapter • 24

155 13 2
                                    

Annchi memang marah pada hidupnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Annchi memang marah pada hidupnya. Pada Papa yang mengkhianati dan tidak peduli pada dirinya dan Mama. Pada Mama yang kecewa terhadap Papa tapi tidak berbuat apa-apa, hanya bisa meraung-raung marah tapi terlihat seperti meminta belas kasihan untuk dicintai balik yang bahkan tidak membuat Papa peduli sedikit pun. Tetap memilih bertahan walau tahu terus diabaikan.

Annchi bahkan pernah merasa kecewa sampai berpikir, kenapa dia harus hadir di tengah-tengah dua orang itu? Kenapa orang tuanya bukan orang lain saja? Yang biasa-biasa saja tidak masalah, asalkan bisa membuatnya bahagia dan memiliki orang tua utuh.

Tapi, kehilangan Mama dengan cara seperti ini bukan opsi yang Annchi pikirkan.

Dia jadi semakin benci pada Papa... yang sudah menyebabkan ini semua.

Dan... marah pada dirinya sendiri, yang tidak bisa memahami keputusasaan Mama.

Selagi Mama ditangani dokter di ruang gawat darurat, Annchi ditemani Mada menunggu di luar. Hanya mereka berdua. Benar-benar berdua di koridor yang sepi di tengah malam ini.

Suasana jadi semakin terasa sepi di antara Annchi yang terduduk di kursi tunggu sambil menunduk dalam dengan kedua tangan saling meremas cemas. Juga Mada yang hanya berdiri diam sambil menyandar pada dinding yang tak jauh dari tempat Annchi duduk. Pak Supir menunggu di mobil setelah membantu Mada membawa Mama ke UGD, sementara Bi Aniek memang tidak ikut serta karena harus menjaga rumah.

Mada menegak, lalu perlahan mendekati Annchi, “Gue mau kabarin Setta dulu buat kasih tau yang lain,” ucap Mada sekaligus meminta izin Annchi.

Sudah menjadi kebiasaan di Suheri kalau terjadi sesuatu saling mengabari satu sama lain. Tapi, Annchi baru di tengah-tengah mereka. Mada pikir Annchi belum bisa seterbuka itu, karena ini menyangkut kehidupan pribadinya yang belum Suheri ketahui.

Dan seperti yang Mada duga, Annchi menahan, “Nggak usah, Mad. Please,” ujarnya.

Namun, hal lain yang tidak Mada duga terjadi, “Temenin gue aja di sini.” Annchi memohon dengan memelas padanya. Matanya berkaca-kaca.

Ada hal lain yang membuat Mada terenyuh, saat Annchi menahannya dengan menarik kecil ujung telunjuknya. Mada yang serta merta menjadi luluh memilih duduk di sampingnya, menemani.

Mada memberanikan diri membawa Annchi ke dalam pelukan. Meski sempat tersentak, Annchi tak menolak. Dia pun bersandar padanya.

Annchi merasa cukup bersama Mada.

“Mama lo udah ditanganin. Dia pasti baik-baik aja,” ujar Mada memberi ketenangan.

Perhatian Mada membuat Annchi terenyuh. Dan berpikir, ia nyaman di dekat Mada. Mada membuatnya merasa terlindungi. Meski rasa cemasnya masih ada karena belum dapat kabar soal keadaan Mama, setidaknya dia punya seseorang yang menemani.

Di dada Mada, Annchi mengangguk kecil.

Butuh waktu satu jam menunggu dokter selesai menangani Mama. Satu jam penuh kecemasan dan rasa was-was. Syukurnya, Mama bisa melewati masa kritis. Meski dia belum sepenuhnya sadar. Dan sekarang, Mama tertidur di kamar rawat.

Revenge Partner • 97LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang