Part 22 [Rotan]

52 8 0
                                    

Suara pukulan dari rotan yang panjang mengenai kuit begitu keras menguar di ruangan ini, isakan tangis pun tertutupi oleh kerasanya suara rotan yang terus memukulnya berkali-kali.

“Mah, maafin Yeva,” pintanya sambil terus memohon untuk berhenti memukuli tangannya yang sudah memerah ini. Kalau saja ayahnya itu tidak pergi keluar negeri saat ini, mungkin ini sudah berakhir sejak tadi.

“Siapa suruh gak nurut?!” omelnya dengan kembali memukul anaknya itu dengan kencang. “Percuma nangis, Mamah gak simpati sama sekali sama kamu!”

Yeva hanya menundukkan kepalanya sambil berlutut dengan tangan yang sudah terluka itu terjulur ke depan, dengan begitu ibunya bisa dengan mudah terus memukulnya hingga puas.

“Apa susahnya sih kamu itu nurut?”

Rasa sakit hingga panas ditangannya itu semakin menjadi seiring ibunya yang terus memukulinya. Dia sering mendapatkan hal ini kalau dia tidak bisa mewujudkan apa yang ibunya inginkan. Selalu berakhir dengan tangan yang terluka, bahkan dia juga pernah sampai tuang jari tangannya patah, semua itu karena dia mendapatkan juara dua di sekolahnya. Dan kali ini kembali terulang, dia tidak bisa mendapatkan juara satu di perlombaan melukis.

Ibunya terlalu memaksakan apa pun padanya, bahkan sekalipun hal yang bukan ahli Yeva. Dia sudah berusaha sejauh ini dan mendapatkan juara dua, tapi tidak ada kepuasan bagi ibunya. Semua orang yang memujinya justru dianggap ibunya sebagai hinaan.

“Iya, Mah. Maafin Yeva.” Hanya itu lah yang keluar dari mulutnya saat ini. Memang apa lagi yang dapat dilakukan olehnya selain terus memohon untuk dimaafkan. Membela diri? Sangat tidak mungkin, hanya akan mendapatkan hukuman yang jah lebih parah dari ini.

“Malu-maluin tau gak?! Kamu mau sengsara kaya kakak kamu, makanya kita buang dia keluar negeri karena udah males liat kelakuannya. Kamu mau mamah buang juga? Kakak kamu itu enak dibuang keluar negeri, kalo kamu? Udah mamah buang dijalanan biar jadi gelandangan aja sana kamu,” ucapnya dengan amarah yang begitu menggebu-gebu.

Ini hal yang sangat memalukan baginya, anaknya yang selalu dibanggakan olehnya kini hanya bisa mendapatkan juara dua di lomba melukis. Sangat membuatnya geram sekali, seolah dia tidak bisa mendidik anak saja. Ucapan hinaan yang dengan sengaja seolah memuji anaknya itu terdengar menjijikkan baginya.

“Orang-orang jadi hina mamah karena kamu, tau gak?”

Teman-teman ibunya yang mengucapkan selamat padanya kali ini justru membuatnya begitu geram sekali. Mereka pikir, dia tidak tau semua pujian itu adalah ejekan karena anaknya hanya mendapatkan juara dua.

“Iya, maafin Yeva.”

Ibunya memukul dengan begitu keras sampai rotan kedua ini kembali patah. Nafasnya yang memburu karena kemarahan, tangannya terkepal. Dia memekik keras dan melemparkan guci yang ada di dekatnya itu.

“Sialan! Dasar orang-orang gak guna! Seenaknya menghina begitu!” teriaknya dengan begitu frustrasi, dia melangkah mendekati anaknya lagi dan menjambak rambutnya. “Ini semua gara-gara kamu!”

Yeva menatap mata merah ibunya, dia begitu membenci hal ini. Melihat tatapan seperti itu begitu menakutkan, sudah beberapa tahun yang lalu terakhir dia melihat tatapan itu. Sekarang kembali melihatnya, seperti bukan ibunya sendiri.

“Ma...maaf,” ucapnya dengan bergemetar ketakutan. Kenangan buruk beberapa tahun yang lalu kembali muncul di ingatannya. Tatapan mengerikan itu, dia takut sekali. Karena tatapan itulah yang membuatnya berakhir di rumah sakit dan harus bertemu dengan psikologi karena gangguan kecemasan yang berlebih.

The Tinted FatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang