"Suatu ketika, seorang pelanggan datang ke toko bonekaku. Dia seorang young lady dengan wajah cantik seperti peri. Gadis itu bertanya, warna apa yang paling aku sukai. Tanpa berpikir lama, aku menjawab hijau.
Kupilih hijau karena warna itu membawa kedamaian dalam hatiku saat aku melihatnya. Rasanya seperti memandang rindangnya pohon atau syahdunya padang rumput.
Hijau juga mengingatkanku pada sebuah negara kepulauan di garis khatulistiwa yang katanya kaya akan rempah-rempah. Di masa lalu, negara itu pernah berada di bawah pemerintahan negara asalku.
Negeri yang asri nan indah. Tujuan akhirku, Hindia Belanda."
Celebes, 1901.
Kapal SS Mary Fair membunyikan peluit sebagai tanda kedatangan. Satu tiupan panjang diikuti dua tiupan pendek menjadi isyarat bagi kapal yang memasuki pelabuhan atau bergerak menuju dermaga. Awak kapal sibuk dengan tugas masing-masing, ada yang menurunkan jangkar, menurunkan dan mengikat tali-tali, memperhatikan mesin kapal, dan lain-lain. Di dermaga, petugas pelabuhan juga sibuk menyiapkan tonggak tambat dan mengikatkan tali pada tempatnya, memastikan kapal SS Mary Fair tertambat di sisi kiri dermaga dengan aman.
Setelah serangkaian protokol tersebut, penumpang baru diperbolehkan turun dari kapal. Satu per satu dari mereka turun dengan teratur. Beberapa pribumi berebut menawarkan jasa untuk mengangkut barang-barang berat dan besar milik penumpang. Tubuh para pribumi itu mungkin kurus, tetapi mereka mampu membawa barang yang bahkan lima kilo lebih berat dari bobot mereka sendiri.
Sore hari, Pelabuhan Makassar masih penuh oleh pedagang dan pelaut yang sibuk. Ada kapal kargo dan perahu-perahu yang mengangkut berbagai jenis hasil bumi. Tak jauh dari dermaga ada pos penjaga milik kolonial, beberapa prajurit Belanda berjaga di sana lengkap dengan senapan di tangan mereka.
Pelabuhan juga ramai dipenuhi para pelancong. Jalanan penuh sesak dengan pejalan kaki, pengendara sepeda, kereta kuda, dan gerobak yang ditarik sapi berbagi jalan, semuanya bergerak ke arah tujuan.
Salah satu penumpang yang turun dari SS Mary Fair adalah Earl Oberon Quiner, seorang bangsawan dari daratan Inggris. Anehnya, penampilan Oberon saat ini tidak mencerminkan tata krama berpakaian seorang Lord sama sekali.
Pakaian yang dikenakan terlihat biasa saja: kemeja putih berkerah tinggi dengan rompi hitam, dipadu celana kain panjang dan sepatu biasa berwarna senada. Pemuda berkulit pucat itu juga memakai flat cap. Pakaiannya tampak lusuh dan kotor, mungkin belum diganti selama dua atau tiga hari.
Oberon terlihat sendirian saat menuruni kapal. Ini adalah pemandangan aneh karena seorang bangsawan biasanya bepergian jauh didampingi oleh kerabat, ajudan, atau setidaknya seorang teman. Terlebih lagi bangsawan dengan posisi cukup berpengaruh dalam masyarakat, kaya raya, dan berwajah tampan. Dalam kasus ini, Earl Oberon Quiner memiliki ketiga-tiganya.
Dengan penampilan lusuh itu, mustahil ada yang menyadari bahwa dia seorang bangsawan Inggris kelas atas. Oberon sepertinya sengaja memakai pakaian yang tidak mencolok agar tak ada yang menyadari identitasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story that Left Behind in Celebes
General Fiction[warn!BL] Kapal-kapal tertambat, dermaga kala jingga, dan menara suar tanah harapan. Cinta mereka adalah kenangan yang indah, namun ternoda oleh tabu dan prasangka, menjadikannya kisah yang selamanya akan tertinggal di Hindia Belanda.