10 - Gara-gara Pegangan Tangan

156 17 37
                                    

"Senja tunggu!"

Aku terperanjat saat seseorang mencekal pergelangan tanganku saat aku tiba di depan gerbang sekolah. Aku melirik ke belakang dan menyipitkan mata.

"Mau apa kamu ke sini?"

"Ya, mau ketemu kamu lah. Kamu semenjak magang gak ada kabar," ucapnya.

Aku mengernyit. "Apa? Bukannya kamu sendiri yang ngejauh duluan. Jadi buat apa juga aku ngabarin kamu?"

"Segitu gak pentingnya aku di hidup kamu, Ja. Biasanya juga selalu ngabarin,"

"Kamu sadar dong yang ngilang duluan tuh siapa?"

Laki-laki yang menjadi lawan bicaraku itu terdiam seketika.

"Udah ya, jangan cari masalah dan jangan bikin mood aku hancur pagi-pagi. Aku ada jadwal ngajar!" Aku bergegas masuk ke gedung sekolah. Tetapi lengan kekar laki-laki itu kembali menarik lenganku.

"Bel masuk masih lama dan aku perlu bicara sama kamu!" tukasnya.

"Enggak ya! Gak ada yang perlu dibicarakan lagi." Aku menghempas tangannya. Takut jika ada siswa yang melihat, bisa malu aku. Sekolah ini berbasis pesantren dan akan menjadi bahan pembicaraan jika ada yang melihatku pegangan tangan.

"Sebentar aja, Ja,"

"Enggak!"

"Ja, please,"

"Kamu pergi sekarang atau aku gak mau kenal kamu lagi!" ancamku.

"Oke, oke, aku pergi. Tapi aku bakal balik lagi buat bicarain ini semua sama kamu." Laki-laki itu memutar balik motornya dan meninggalkan area sekolah. Setelah dia pergi, aku langsung berjalan cepat melewati lapangan yang masih terlihat sepi.

"Yang tadi siapa tuh?"

Suara seseorang membuat langkahku terhenti. Rupanya Harun berada di meja piket sejak tadi. Astaga! Jadi siswa menyebalkan ini melihatku dengan cowok tadi dong. Bagaimana ini?

"Bukan siapa-siapa," jawabku asal.

"Terus ngapain dia pegang-pegang tangan, Kakak?"

"Refleks aja kali,"

Harun tersenyum smirk. "Gak mungkin banget. Pasti dia sengaja tuh."

"Terus apa urusannya?"

"Ck! Emang pantes ya yang dulunya mondok di pesantren, begitu keluar langsung terbawa arus dunia luar juga?" celetuk Harun.

Ucapan Harun bagaikan tamparan bagiku. Memang benar, aku merasa diriku berubah sejak keluar dari pondok pesantren. Aku seolah terbawa arus dunia luar. Apalagi perihal pergaulan dengan lawan jenis.

"Udah bagus deket sama Zaidan. Udah ganteng, pinter, sholeh, jago pidato pula. Apa bagusnya cowok tadi? Keliatannya bukan anak pondok ya, makanya sampe berani pegang tangan, Kak Senja," oceh Harun.

"Kamu ngapain sih sebut-sebut lagi nama Zaidan? Terus kamu juga jangan sok tau deh. Aku sama cowok tadi tuh gak ada hubungan apa-apa,"

"Masa? Buktinya dia nyamperin Kakak ke sekolah. Feeling aku bilang kalau dia itu pasti -- "

"Harun!" Ucapan Harun terjeda saat suara Arfan terdengar. Cowok bertubuh mungil itu menghampiri kami. Ia juga menyunggingkan senyum padaku. "Pagi, Kak Senja."

"Ah, kamu ganggu aja, Fan. Orang lagi ngobrol juga," umpat Harun. Kehadiran Arfan seolah menganggu dirinya yang sedang mengobrol denganku.

"Kamu yang ngapain di sini, Run? Pagi-pagi udah gangguin, Kak Senja," seloroh Arfan.

Senja BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang