Left Untold

539 64 3
                                    

Satu minggu berlalu setelah kejadian yang terakhir. Seperti yang sudah diperkirakan, Aldy sedikit menghindar. Bukan jenis penghindaran yang terlihat jelas. Dia selalu memberikan alasan-alasan kecil. Tak pernah berangkat bersama ke kampus, dengan alasan harus berangkat lebih dulu karena ada latihan basket. Tak pernah pulang bersama, karena dia selalu bersembunyi di suatu tempat, atau malah pulang lebih dulu sebelum Zafran menemuinya. Jarang bermain bersama, dengan alasan sibuk mengerjakan tugas kelompok di rumah teman. Jenis-jenis penghindaran seperti itu, tetapi mungkin tetap terasa janggal untuk Zafran.

Apalagi perihal tugas. Sejak kapan Qhialdy begitu mementingkan tugas, padahal biasanya dia cuek-cuek saja?

Aldy tak menyinggung apa pun soal fotonya di ponsel Zafran, sekalipun dia tak pernah berhenti memikirkan hal itu. Aneh, 'kan? Untuk apa seseorang menyimpan foto-foto orang lain yang diambil secara diam-diam pada folder terkunci? Jujur saja, mereka sering mengumpulkan foto aib masing-masing untuk dijadikan bahan ejekan. Namun, yang dilihatnya beberapa hari lalu itu sama sekali tak bisa dibilang aib. Tak ada apa pun yang tampak memalukan.

Belum lagi, ada fakta tentang nama folder. Kenapa harus ada lambang hati? Dari sekian banyak simbol yang mungkin bisa dipakai untuk mempersingkat kalimat, kenapa harus bentuk cinta itu?

Lalu, kata kunci folder. Kenapa harus menggunakan tanggal lahirnya?

Dalam hati, Aldy penasaran. Dia ingin sekali bertanya, tetapi sedikit kesulitan memulai. Harus bertanya seperti apa? Zaf, kenapa banyak foto-foto gue di HP lo? Terdengar bagus, tak terlalu menyudutkan. Namun jujur saja, Aldy bukan takut pada pertanyaan yang ingin dilontarkannya. Dia takut mendengar jawaban dari Zafran.

Berkali-kali menyangkal, berkali-kali pula otak Aldy terus menghubung-hubungkan beberapa tingkah Zafran dengan potret-potret yang ada di ponselnya. Dia kembali ingat pada selembar foto polaroid yang ditemukan di mobil Zafran. Dia juga ingat beberapa waktu yang lalu, ketika Zafran tiba-tiba memutuskan untuk pulang setelah Jadira ikut bergabung dengannya bermain basket.

Tanpa disuruh, otaknya terus menyambung-nyambungkan banyak hal, kembali bertanya-tanya, kenapa Zafran tak pernah merespons satu orang pun yang mengaguminya?

Dan, perihal lagu ...

Di benaknya, pemuda bermata kecil itu mengingat-ingat lirik-lirik yang diciptakan Zafran. Hampir semuanya berisi tentang sakit hati. Cinta terpendam, cinta diam-diam, cinta tak berbalas. Dan setiap disuruh untuk menunjukkan karya ke dunia luar, Zafran selalu berkata, "Enggak perlu semua orang tahu. Cukup lo."

Aldy merinding. Entah dia yang berpikir terlalu jauh, atau memang benar adanya. Sepertinya ada yang tidak beres di sini. Ada yang salah. Setelah bertahun-tahun bersahabat dengan Zafran, baru kali ini Aldy merasa tak mengenali sahabatnya secara menyeluruh.

Bagaimana kalau segala pemikirannya selama satu minggu ini benar? Bagaimana kalau memang ternyata ada Zafran lain yang tak dia kenal? Bagaimana kalau ...

Segala pemikiran beratnya terinterupsi, ketika pintu kamarnya terbuka, menampakkan sosok kakaknya yang sudah sangat jarang ditemui di rumah, Azion.

"Gue kira lo tidur. Gue panggil dari tadi, tapi enggak ada jawaban," kata Azion, sembari melangkah masuk ke kamar adiknya.

"Enggak dengar."

Kalimat singkat yang dilontarkan Qhialdy cukup untuk membuat Zion mampu mengendus sesuatu yang salah. Adiknya tak akan setenang itu jika dia sedang berkunjung. Aldy pasti akan berlari keluar hanya untuk mencari sang Keponakan, kemudian heboh cekikikan sendiri, menculik keponakan kecilnya ke rumah Zafran hanya untuk "dianiaya" bersama.

"Kenapa?" tanya Zion, sembari melemparkan diri ke kasur, tidur di samping sang Adik.

"Apanya yang kenapa?"

They Don't Know About Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang