Jane berdiri di depan piano, menatapnya dengan pandangan yang enggan dan kaku, seolah piano adalah sesuatu yang mengerikan. Piano hitam itu terasa seperti momok yang menghantui, seakan ada bayang-bayang masa lalu yang muncul setiap kali ia menatapnya. Sinar lampu ruangan memantul di permukaan piano yang mengkilap, membuatnya terlihat elegan sekaligus mengancam. Semua tamu yang hadir menatap Jane, menunggu penampilannya. Sorot mata mereka membuat Jane merasa telanjang, seolah-olah mereka bisa melihat setiap kelemahan yang ia sembunyikan.
Kenangan dua tahun lalu melintas di benaknya—pesta besar yang diadakan ayahnya, ketika ia diperkenalkan ke masyarakat untuk pertama kalinya. Ayahnya begitu bangga malam itu, berharap Jane akan menjadi sorotan dengan permainan pianonya. Tapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Saat itu, ia belum benar-benar terlatih karena memang ayahnya tidak bisa membayar guru les piano untuk mengajarkan Jane, alhasil permainan pianonya tidak sempurna. Setelah malam itu, Jane kehilangan kepercayaan diri untuk bermain di depan umum. Piano, yang dulu menjadi instrumen penuh pesona, kini terasa seperti belenggu yang mengingatkannya pada kegagalan.
Di antara kerumunan, Galen memperhatikan kegelisahan Jane. Ia bisa melihat ketakutan yang terpantul di mata gadis itu, meskipun Jane berusaha menyembunyikannya. Sesaat, Galen merasa iba, dan tanpa berpikir panjang, ia mendekati Jane dengan langkah tenang. Kehadirannya membawa rasa aman bagi Jane. Sejak awal, Galen selalu menjadi sosok yang hadir saat dia membutuhkan bantuan, seseorang yang tak pernah gagal menenangkan kegelisahannya.
"Biar aku yang main," bisik Galen, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Kau bisa mengiringinya dengan bernyanyi, bukan?"
Jane menoleh dan menatap Galen. Matanya bersinar penuh rasa terima kasih dan kelegaan. Galen, sekali lagi, menjadi penyelamatnya. Dia tersenyum kecil, dan hati yang semula penuh kecemasan perlahan mulai tenang.
"Tentu saja," jawab Jane pelan, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Senyum Galen membuatnya merasa sedikit lebih percaya diri.
"Saya akan berduet dengan Jane," ujar Galen lantang. Pria itu duduk di depan piano, posisinya anggun dan meyakinkan, seolah-olah piano adalah perpanjangan dari dirinya. Para tamu tampak terkesan dan memberikan tepuk tangan sambil menanti penampilan mereka.
Dari sudut ruangan, Kristy memandang mereka dengan kaget dan sedikit kesal. Selama ini, Kristy mengira bahwa ia tahu segalanya tentang Galen. Namun, pria itu tidak pernah menunjukkan kemampuan bermain piano di depannya. Saat ini, dia merasa seperti ada jarak yang tak bisa dijangkaunya, seolah Galen menjadi seseorang yang lebih dekat dengan Jane daripada dengannya.
Galen menoleh ke arah Jane, seolah meminta persetujuan sekali lagi. "Apa yang bisa kau nyanyikan?" tanyanya lembut, membuat Jane merasa dihargai dan diperhatikan.
Jane membuka buku musik di hadapannya, lalu menunjuk sebuah lagu klasik yang terkenal, "Für Elise." Galen mengangguk dan mulai memainkan nada pertama. Sentuhan tangannya pada tuts piano lembut namun bertenaga, menghasilkan nada-nada yang mengalun indah memenuhi ruangan. Jane mulai bernyanyi, suaranya menyatu dengan permainan Galen, menciptakan harmoni yang memikat.
Ketika suara Jane mengalun, para tamu tampak terpana. Suaranya jernih dan menggetarkan hati. Mereka mulai berbisik-bisik, memuji kolaborasi yang indah antara keduanya. Jane sendiri tidak menyadari bahwa suara yang ia anggap biasa ternyata mampu memikat perhatian banyak orang. Saat ia melihat Galen yang duduk di depan piano, entah kenapa, ia merasa sedikit lebih kuat, sedikit lebih percaya diri.
Sementara itu, Kristy merasakan campuran perasaan cemburu dan kekecewaan. Rencananya untuk membuat Jane merasa malu di depan para tamu telah gagal total. Sebaliknya, Jane kini menjadi pusat perhatian, dan Kristy merasa seolah-olah posisinya di samping Galen semakin tergeser.
Setelah lagu usai, tepuk tangan bergema di seluruh ruangan. Jane menghela napas lega, tersenyum pada Galen yang menatapnya penuh kebanggaan. Ia berterima kasih dalam hatinya karena Galen selalu ada untuk menolongnya.
Herriet berjalan mendekat mendekati Jane dan Galen. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun elegan berwarna pastel. Senyumnya tulus saat ia memuji Jane. "Suaramu sangat luar biasa, Jane. Dan Lord Austin—" Herriet menatap Galen penuh kekaguman, "permainan pianomu sungguh memukau. Aku tak pernah menyangka kolaborasi kalian akan seindah ini. Patut diacungi jempol."
"Terima kasih. aku permisi dulu." Galen meninggalkan Jane dan Herriet.
"Oh, Jane kau benar-benar hebat." Herriet kembali memuji Jane.
Gadis itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk, meskipun perhatiannya tak sepenuhnya pada pujian itu. Matanya masih mengikuti langkah Galen yang berjalan menjauh, menuju meja minuman. Namun, ketika ia melihat Kristy menghampiri Galen, perasaan tidak nyaman muncul di hatinya.
"Apa kau mau menjadi temanku?" Herriet bertanya tiba-tiba, suaranya mengandung harapan yang tulus. Jane menoleh padanya, sedikit terkejut oleh permintaan tersebut.
"Tentu saja," jawab Jane lembut. Namun, tatapannya kembali tertuju pada Galen, yang sedang berbicara dengan Kristy. Ada sesuatu dalam cara Kristy menatap Galen yang membuat Jane merasa tidak tenang, meskipun ia sendiri tak mengerti mengapa.
"Jane, sejak kapan kau mengenal lord Austin?" tanya Herriet. Jane hanya diam.
Herriet menyadari jika Jane tidak berkonsentrasi mendengarkannya. Wanita itu memperhatikan kemana arah pandang Jane. Seolah membaca isi pikiran Jane, Herriet berbisik pelan, "Apa kau terpengaruh dengan ucapanku tentang Kristy dan Lord Austin yang pernah bertunangan secara rahasia?"
Jane terperangah mendengar pertanyaan itu. "Oh ... tentu saja tidak," jawabnya cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tahu tidak pantas baginya untuk terpengaruh dengan kedekatan Galen dan Kristy, tapi kenyataannya, ia memang merasakan cemburu.
Herriet tersenyum tipis. "Kalau begitu, anggap saja aku tidak pernah mengatakannya," ujarnya santai, meskipun sorot matanya tetap memperhatikan reaksi Jane. Ia mengalihkan pandangannya pada Galen dan Kristy, dan Jane sempat melihat kilatan ketidaksukaan di mata Herriet.
Setelah hening sejenak, Herriet kembali menoleh pada Jane. "Jika kau kembali ke London, aku ingin kau mengunjungiku di rumahku ... maksudku, rumah suamiku," katanya, sedikit terkekeh menyadari kealpaannya.
Jane mengangguk sambil tersenyum, berusaha mengalihkan pikirannya dari Galen dan Kristy. "Tentu, aku akan mengunjungimu. Kau juga boleh berkunjung ke rumahku," tawar Jane.
"Benarkah?" Herriet bertanya, matanya berbinar penuh harapan. Sepertinya dia benar-benar tulus ingin berteman.
Jane mengangguk mantap. "Tentu saja."
Di tengah obrolan mereka, Jane melihat Kristy berbalik meninggalkan Galen dengan wajah yang sulit dibaca. Herriet tampak mengikuti arah pandangan Jane, lalu menghela napas. Seolah mengerti perasaan Jane, Herriet tidak berkata apa-apa lagi dan hanya tersenyum kecil. Mereka berdua diam sejenak, terlarut dalam pikiran masing-masing.
Herriet melihat suaminya keluar dari ruangan, dan tanpa berkata-kata lagi, ia pamit pada Jane. Di dalam hatinya, Jane merasa aneh. Semua perhatian dari Galen, dan percakapan dengan Herriet membuatnya bingung dengan perasaannya sendiri. Meski ia berusaha menyangkal, Jane tahu hatinya mulai merasa lebih dari sekadar sandiwara menjadi tunangan kontrak Galen.
-TBC-
Note :
Yang mau lanjut silahkan ke Innovel/Dreame sudah up sampe bab 22 dan gratis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Kontrak Sang Duke
Roman d'amourJane Elizabeth Grey, putri dari Earl of Winchester, tidak sengaja melihat penolakan lamaran oleh Kristy Dudley, putri Marquees of Hedridge terhadap Galen William Austin, Duke of Derbyshire. Gosip Kristy menolak Gallen menjadi scandal di London. Gall...