Byan melirik sekitarnya merasakan hawa malam yang mulai mendingin. Beberapa kali tangannya beradu dan saling mengait untuk sekedar menghangatkan tangannya. Tak jarang juga ia menghembuskan napas kecilnya di sela jemarinya untuk menjaga suhu tubuhnya.
Ponselnya berdering. Ia mengambil ponselnya terburu buru sehingga tanpa sengaja menjatuhkannya. Dengan gelagapan ia mengambil ponsel itu kembali namun ia harus menyimpan kembali kekecewaannya ketika layar ponsel itu retak dan notifikasi pesan yang berasal dari Harsa, temannya.
Ia kembali merutuki dalam hati, mengapa bukan orang yang ia tunggu yang memberinya pesan? Bukankah dia sudah berjanji? Ini kali pertama setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak mungkin Jian membohonginya kan? Tak mungkin Jian dengan teganya melupakan janjinya. Jian yang ia ketahui tak akan pernah berbohong apalagi melanggar janjinya.
Dengan kepercayaan itulah, Byan segera mencari halte terdekat. Tak mungkin ia menunggu di depan kantor ini terus menerus, apalagi ketika gedung pencakar langit itu sudah tutup dan beberapa orang terus menatapnya belakangan.
Tangannya yang dingin itu dengan lincah menggulir layar ponselnya. Tepat jari itu berhenti pada nama abang tersayangnya yang ia namai dengan rangkaian simbol agar berada pada pencarian awal di kontaknya.
Nada panggilan tidak tersambung dan angin malam semakin menyurutkan semangatnya. Sayangnya Byan hanya memakai jaket kulitnya yang tipis. Karena tidak menyangka udara malam akan sedingin ini padahal negaranya sedang dilanda musim panas.
Pikirannya meragu sesaat. Bagaimana jika penantiannya sia sia? Bagaimana jika Jian masih tak memberinya kesempatan? Apakah dirinya harus menghubungi kakak keduanya? Tapi Sagara selalu memblokir media sosialnya dan berganti nomor hingga Byan sendiri tak tau bagaimana cara menghubungi Sagara.
Hujan turun disela lamunannya. Pada titik ini Byan merasa putus asa. Ponselnya sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Harsa sedari tadi mendesaknya untuk mengirimkan jawaban tugas. Terakhir, mungkin ayahnya sudah pulang.
Mata kosongnya menatap tetesan air bumi itu membasahi atap halte. Hidung merahnya merasakan bau petrichor. Dan mendadak perasaanya seakan terkoneksi ke beberapa tahun silam. Beberapa kejadian selalu terjadi ketika hujan. Ketika hujan, ibunya kesulitan menahan kesakitannya agar dirinya dapat lahir dengan selamat.
Hujan juga terjadi ketika perayaan ulang tahunnya terakhir kali dengan keluarga yang lengkap. Cuaca itu juga yang membuat adek satu satunya sakit dan dirinya yang menangis dalam kesendirian. Terakhir, ingatan masa kecilnya membawa dirinya mengingat bagaimana ibunya berjalan membelakanginya dan meninggalkannya. Senyuman pedih terbit dan tanpa sadar Byan berjalan lurus sambil mendongak menatap langit.
Hari hujan itu. Hari yang membuat dirinya dibenci oleh ibu dan saudara saudaranya. Dan pada akhirnya memilih untuk membenci orang lain untuk menyelamatkan dirinya. Pada dasarnya Byan hanya membutuhkan seseorang untuk menjadi tempat menyalahkan segala hal yang terjadi pada hidupnya. Byan memang sepicik itu.
Lamunan itu terhenti ketika telinganya kembali berfungsi dan secara samar samar menangkap suara klakson. Tangannya ditarik secara paksa ke sisi trotoar dan wajahnya yang basah menatap sepatu orang yang menariknya.
"Bang Tara?" Bibir yang membiru itu bergumam ketika melihat wajah orang yang menariknya dengan tiba tiba itu.
"Makasih udah datang bang, gue-"
Cengkraman pada lengannya menguat, lalu secara cepat disentak. "Liat mata gue." Suara lugas itu menginterupsi ucapan Byan dengan cepat. Membuat Byan mengusap wajahnya yang basah dan tepat pada saat itu dirinya menyadari sesuatu.
"Bang Gara? Lo ngapain-"
"Lo lupa? Padahal lo nge-chat nyuruh gue ke rumah sakit buat nemuin Teguh. Mana Teguhnya? Kenapa lo suruh gue ke rumah sakit?" Lagi lagi Sagara dengan cepat memotong ucapan Byan. Tak lupa Sagara juga menjaga jarak dari Byan yang kehujanan tanpa menawarinya payung lebih lanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Occasion
FanfictionByan hanya butuh perhatian, Teguh tidak butuh apa apa selain abangnya, dan satu sisi lainnya ada Kamal yang selalu tercukupi. Namun mereka tidak tau kalau Byan mampu hidup bahkan tanpa orang tua dan saudaranya, tidak tau kalau Teguh juga butuh peng...