Meet Shenina

1.7K 230 15
                                    

Aku tidak bisa menahan tangis setelah melihat keadaan Shenina. Aku tidak mengenalnya, tapi aku ikut sedih dengan keadaannya. Tubuhnya terlihat kurus dengan tulang kaki mengecil. Dia tidak memiliki rambut, dan ada selang kecil menancap di belakang kepalanya.

Aku masih belum bisa bicara apa pun ketika Shenina tiba-tiba berkata sesuatu. Artikulasinya yang kurang jelas, membuatku tidak bisa memahami apa yang dia katakan.

"Kenapa, Shen?" tanya Atharva dengan lembut. Dia menghampiri Shenina dan duduk di kursi yang terdapat di samping ranjangnya. Sepertinya Atharva juga tidak mengerti apa yang dikatakan oleh istrinya.

Ketika Shenina menunjuk-nunjuk layar televisi yang saat itu sedang menampilkan iklan mi instan, barulah kami mengerti apa yang diinginkan oleh perempuan itu.

"Oh, kamu mau makan mi instan?" tanya Atharva lagi, dan Shenina mengangguk.

"Nggak boleh. Baru kemarin kamu masuk rumah sakit karena makan sembarangan. Kamu mau sakit lagi?"

Tiba-tiba Shenina menangis. Dia membuang muka dari Atharva dengan ekpresi cemberut. Sikapnya benar-benar terlihat seperti anak kecil.

Aku tengah berusaha keras memproses semuanya saat Atharva seenaknya saja meninggalkan aku berdua dengan Shenina di dalam kamar itu. "Sebentar, Dier. Aku panggil mbaknya dulu." Begitu katanya sebelum pergi begitu saja.

Sudah pasti situasi ini membuatku canggung. Aku hanya berdiri diam di tengah-tengah kamar, bingung harus melakukan apa. Hingga setelah beberapa menit dan Atharva masih belum kembali, aku memutuskan untuk menghampiri Shenina dan menduduki tempat yang sebelumnya diduduki oleh Atharva. "Hai," sapaku.

Shenina menatapku, tapi tidak bicara apa-apa. Dia hanya diam sambil terus menatapku. Dari jarak dekat seperti ini, aku baru menyadari ada bekas jahitan yang berbentuk melingkar di sisi kanan kepalanya. Wajahnya benar-benar terlihat bengkak dengan pipi menggembung, padahal tubuhnya sangat kurus.

"Aku Adiera. Kamu bisa panggil aku Diera."

Perempuan itu sepertinya tidak tertarik bicara denganku karena dia langsung buang muka dan kembali menonton tv.

"Walaupun kita nggak saling kenal, sebagai sesama perempuan aku merasa harus menyemangati kamu. Pokoknya kamu harus semangat. Aku yakin kamu pasti bisa sembuh dan berhasil melalui semua kesulitan ini."

Perkataanku tidak mendapat tanggapan sama sekali karena Shenina masih asyik menonton tv.

Aku meraih frame di nakas yang memanjang foto Shenina dengan Atharva. Sebuah kastil tua menjadi latar belakang foto itu. Sepertinya foto itu diambil saat mereka masih sama-sama tinggal di London.

Dalam foto itu Shenina masih dalam keadaan sehat. Dia sangat cantik dengan rambut panjang yang tergerai hingga ke pinggang. Dan melihat itu membuatku semakin dihantui perasaan bersalah.

"Shen," bisikku, kembali bicara walaupun dia tidak menghiraukan perkataanku sama sekali. "Aku mau minta maaf sama kamu. Maaf karena aku sempat berpikir merebut Atharva dari kamu. Dari awal aku sudah menduga Atharva sudah menikah dan punya istri, tapi aku selalu denial. Aku selalu berusaha menyangkal pemikiran itu. Aku terlalu egois karena aku nggak mau kehilangan dia. Maafin aku ya, Shen. Maaf karena aku mencintai suami kamu."

Aku terus mengoceh tanpa mendapat tanggapan dari Shenina. Tidak apa-apa jika dia tidak mengerti apa yang aku katakan, yang penting perasaanku sedikit lebih tenang setelah aku mengungkapkan semuanya.

Karena terlalu fokus dengan Shenina, aku tidak menyadari kedatangan Atharva hingga aku merasakan tangannya meremas bahuku. Aku mendongak dan menemukan dia berdiri di belakangku.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang