PROLOG

535 36 2
                                    

Suara sirine ambulan, polisi, dan pemadam kebakaran membuat area sekitar gedung itu berisik. Banyak orang yang menonton kejadian mengerikan itu dengan rasa pilu. Mereka berbisik-bisik membicarakan tentang kejadian tersebut.

Kebakaran.

Kebakaran di gedung rumah sakit membuat gempar para warga Tokyo. Para tim penyelamat dan medis bolak balik kesana kemari untuk menyelamatkan para korban yang terkena bencana tersebut.

"Bunda...?"

Seorang gadis kecil masih berumur 6 tahun, berambut pendek dengan surai kecoklatan itu, menatap gedung rumah sakit yang terbakar dihadapannya dengan tatapan kosong.

Tangannya memeluk erat boneka beruang yang warnanya sudah menjadi kehitaman akibat abu kebakaran tersebut.

Lirihnya memanggil sang bunda yang masih berada di dalam gedung itu.

"Bunda! Bunda!"

Ia berlari masuk ke dalam gedung tersebut tetapi ditahan oleh tim penyelamat. Air matanya mengalir deras membasahi wajahnya. Yang ia bisa lakukan hanyalah pasrah, menatap gedung terbakar yang sedang dipadamkan dengan penuh usaha oleh pemadam kebakaran.

Sang ayah dan kedua kakak sang gadis itu akhirnya datang. Kedua kakaknya menatap gedung tersebut dengan mata lebar. Mereka berdua syok dan khawatir dalam satu waktu.

Sang ayah serasa ingin menangis, lalu perhatiannya tertuju pada sang gadis—anaknya, yang memanggil namanya.

"Ayah...?"

Awalnya, sang ayah menatap gadis kecilnya dengan tatapan sedih. Seketika berubah menjadi tatapan amarah. Kepalan tangannya terlihat jelas oleh gadis kecil itu. Gadis tersebut menjadi khawatir juga takut.

Seakan ia tau, bahwa ayahnya sedang marah besar pada dirinya. Ia mengambil beberapa langkah kecil ke belakang dan tatapan khawatirnya menatap sang ayah.

Ayahnya merangkul kedua kakaknya—yang satu bersurai merah kecoklatan dan satunya lagi bersurai hijau tua. Kedua kakaknya langsung menatap ayah dengan bingung, lalu tatapan mereka beralih ke adik perempuannya.

Tatapan mereka persis seperti sang ayah—amarah.

"Pembunuh."

Kalimat yang dilontarkan oleh sang kakak sulung, membuat hati gadis itu retak. Entah apa yang membuat kakaknya memanggil dirinya sang 'pembunuh'. Ia hanya terdiam dan menatap ke arah sepatunya. Dekapan pada boneka beruang kecil ditangannya semakin erat, sepertinya dia sedang menahan air matanya.

"Pembunuh! Dasar pembunuh!"

"Lo ngebunuh bunda gue!"

"Sialan lo pembunuh!"

"Harusnya bunda gak usah anter lo ke rumah sakit!"

"Lebay banget demam doang harus ke rumah sakit."

Semenjak kematian sang bunda tercinta mereka bertiga, gadis kecil itu selalu dijuluki sebagai 'pembunuh' bukan sebagai 'adik' lagi yang dahulu kakak-kakaknya selalu sebut.

Hari-hari ia lalui dengan rasa kecewa, sedih, dan penderitaan tiada henti yang selalu diberi oleh keluarganya sendiri. Rasanya sakit, tentu sakit. Tapi ia harus tetap menjalani hidup demi sang bunda. Ia harus tetap hidup demi keluarganya.

Demi ibunda.


⁠✧✧✧

—Itoshi Sae—"Pembunuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itoshi Sae
"Pembunuh."

—Itoshi Rin—"Lo gak pantes berada di keluarga ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itoshi Rin
"Lo gak pantes berada di keluarga ini."

—Itoshi Asa—"Asa gak tau apa-apa, kak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itoshi Asa
"Asa gak tau apa-apa, kak..."

BERTAUT (ft. Itoshi brothers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang