Kabar kematian Celestino membuat liburan Widi di Indonesia berakhir. Ia harus menggantikan Ronan untuk menangani Sugar Gems. Selain itu dia juga diminta tolong untuk membantu memperbaiki hubungan Ronan dan Nando.
Kepulangan Widi diketahui oleh Tania. Wanita montok itu datang ke rumah Widi bersama sang sopir. Niatnya dia akan mengantar Widi ke bandara, sedangkan sopirnya akan mengunci pintu dan membawa pulang mobil yang dipinjam Widi pulang ke rumah Tania. Widi mengambil penerbangan malam, agar lebih santai, ia memilih untuk berangkat pada sore hari.
“Pak Yatno, tolong masukkan kopernya ke mobil itu ,ya,” kata Tania pada sopir. Jarinya menunjuk mobil BMW yang akan dikendarai olehnya.
“Baik, Nyonya!”
Sebuah sepeda motor matik besar berhenti di depan rumah Widi. Si pengendara adalah Ari. Ia turun dari motor dan membawa sesuatu di tangannya. Widi menepuk dahi. Ia lupa belum bilang pada Ari kalau akan pulang ke Amerika Serikat. Ari tampak bingung dengan keramaian ini. Sementara Tania bingung dengan sosok wanita berambut gonjreng itu.
“Hai, Ari,” sapa Widi yang gugup setengah mati. Bagaimana nanti menjelaskan padanya kalau ia harus pulang.
“Hai, Mas. Aku janji bawakan kamu martabak cokelat keju yang enak setelah gajian. Ini. Aku sudah belikan.” Ari menyerahkan bawaannya kepada Widi. Ketegangan di wajah Widi terasa olehnya. “Mas Widi mau ke mana?”
“Kembali ke Amerika Serikat. Ada pekerjaan di sana. Maaf banget aku kasih tahu kamu dadakan begini.”
“Oh.” Hanya itu yang Ari ucapkan. Ia menggaruk kepalanya. “Kapan kembali lagi ke sini?”
“Belum tahu.”
“Oke. Senang mengenalmu lagi. Hm, hati-hati di jalan. Aku pulang dulu, ya.”
Ari langsung menaiki motornya. Perasaannya sangat tidak enak karena akan ditinggal lagi oleh Widi. Rasanya seperti kehilangan teman lagi. Tania menatap Ari yang mulai menjauhi rumah, ia kemudian menatap Widi yang tampak sedih.
“Aku enggak tahu kalau kamu sudah punya pacar lagi,” celetuk Tania jahil.
“Bukan, Kak. Lha wong dia sepertinya suka sama Ezra. Bukan sama aku.”
“Kalau suka sama Ezra, enggak mungkin dia bawakan kamu martabak spesial cokelat keju. Ada molekul cinta di dalam sana, lho.”
Widi tersenyum. Ia membuka kotak martabak. Aroma manis gurih tercium. Makanan itu masih hangat di tangannya. Widi mengambil sepotong dan melahapnya. Enak. Dia pun menawarkan martabak pada Tania. Tapi, Tania menggeleng.
“Enak lho, Kak. Masa Kak Tania enggak mau?” Widi tersenyum manis sekali.
*
Perjalanan panjang lewat udara membuat Widi mabuk pasca terbang. Perbedaan waktu yang ada juga sedikit membuatnya bingung. Dengan penuh perhatian, William menyiapkan teh untuk sang ayah yang baru saja tiba. Tapi, ia sangat cerewet dan mulai bertanya tentang wanita yang dekat dengan Widi di Indonesia. Widi menanggapinya dengan senyuman karena otaknya sedang lemot sekarang.
“Will, Ayah sedang tidak baik-baik saja. Lebih baik esok hari jika ingin bertanya macam-macam,” saran Sarah sambil meletakkan apel yang dipotong di atas meja makan. “Ayah butuh apa lagi?”
“Sudah. Ini saja.” Widi mengambil sepotong apel dan memakannya. “Apa yang terjadi pada keluarga Nando? Aku tak berani bertanya pada Ronan di situasi sulit begini.”
Sarah menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Widi. Di sana ia menceritakan perihal Ronan dan Nando yang akan bercerai dengan begitu banyak alasan dalam hubungan mereka yang sudah retak. Juga tentang Ronan yang mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk yang menyebabkan kecelakaan dan menewaskan Celestino. Nando murka sekali dan meminta perceraian mereka dipercepat.
“Aku dengar kini Ronan mencari Nando ke sana sini demi meminta maaf padanya. Tapi entah di mana Papa Bear itu berada.” Sarah menutup ceritanya.
“Kasihan sekali Ronan. Aku juga kasihan pada Nando, pasti berat sekali kehilangan anak yang dicintai.”
“Tentu saja. Nando dan Celestino punya banyak kesamaan. Bocah itu sangat dekat dengan papanya,” tambah William.
“Ya. Besok Ayah akan menemui Ronan dan langsung bekerja di Sugar Gems. Ada banyak hal yang harus ditangani di sana. Oh, ya. Aku dengar ada Maddy.”
“Dia tinggal di rumah pribadi Ronan. Menjaga Ronan yang sedang tidak stabil pikirannya,” kata Sarah. Kemudian wajahnya berubah seperti ibu-ibu yang hendak bergosip. “Ayah, sepertinya Heinrich dan Ezra berkencan.”
“Hah? Masa?” tanya Widi yang terkejut. “Kok bisa?”
“Kami melihat mereka berdua beberapa kali. Awalnya terlihat seperti tidak akur. Tapi lama-lama malah saling merangkul.” Sarah tertawa kecil. “Setan Kenny pasti menuntun mereka untuk menjadi satu.”
“Untung saja ayahku tidak berakhir dengan salah satu dari mereka.” William beranjak dari duduk dan menuju ke kamarnya. Ia muak dengan pembahasan ini.
“Jangan hiraukan dia, Ayah.” Sarah mengambil sepotong apel untuk dimakan. “Kalau Ayah sudah membaik, ceritakan tentang wanita yang sedang dekat denganmu, ya.”
“Ya. Oh! Aku lupa belum menghubunginya! Di Indonesia sekarang pukul berapa, ya? Aku akan mengabari dia dulu.”
Widi naik menuju kamarnya. Tinggal Sarah saja yang berada di dapur. Ia menatap sepiring apel yang sudah dikupas dan mulai memakannya satu per satu.
*
“Hai, Maddy.”
Maddy langsung menghambur dalam pelukan Widi saat melihatnya. Widi memeluk balik sejenak kemudian mereka saling berpandangan.
“Bagaimana kabar Ronan?”
“Buruk. Ia ingin pergi ke Spanyol karena yakin kalau Nando ada di sana. Sudah berhari-hari kami mencarinya, tapi tak bisa menemukannya. Mungkin Nando sengaja menghindari Ronan.”
Maddy berjalan diikuti oleh Widi. Mereka menuju halaman belakang yang ada kolam renang. Di sanalah mereka melihat Ronan tengah duduk di kursi dengan wajah sangat putus asa. Ronan tersenyum tipis saat melihat Widi datang. Sepertinya ia menerima kedatangan Widi.
“Dia menolak kedatangan banyak orang. Baru kau yang diterimanya,” bisik Maddy pada Widi.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Widi pada Ronan. Ia duduk di kursi sebelah pria itu.
“Belum membaik.” Ronan memberikan kunci kantor pada Widi. “Urus dulu Sugar Gems. Aku sedang sibuk mengurus masalahku.”
“Butuh bantuan?” Widi mengantongi kunci dari Ronan.
“Entahlah. Berikan saja informasi jika kau bertemu dengan Nando. Katakan juga padanya jika aku merindukannya.”
“Pasti.”
“Widi ....” Ronan memegang tangan pria itu. “Jangan marah, ya. Hm, aku pernah tidur dengan Ezra.”
Ah, i see. – Widi
Sebenarnya Widi terkejut dengan cerita ini. Kesal juga, sih. Kesalnya itu yang seperti kenapa Ronan harus tidur dengan mantan kekasihnya? Kenapa? Mau marah pun Widi tak bisa. Ini bukan saat yang tepat. Ia hanya menelan ludah, menarik napas panjang, dan berpura-pura semua tidak terjadi.
“Ya sudah. Sudah tidur, kan? Ya sudah. Enggak apa-apa. Serius. Aku enggak apa-apa.”
Ronan tersenyum canggung saat menatap mata Widi yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu kalau ada aturan tidak tertulis bagi sebagian orang untuk tidak berhubungan dengan mantan pacar sahabat.
“Maafkan aku.”
“Ya. Aku sudah memaafkanmu.”
“Dia enak banget, sih.” Ronan mulai cengengesan.
“Ya. Aku tahu.” Pipi Widi bersemu merah. Ronan kemudian mengguncangkan tubuh Widi. “Apa sih, Ronan?”
“Ceritakan tentang pacarmu di Indonesia. Wanita itu. Kata Louisa yang rambutnya warna ash purple.” Ronan menyandarkan kepala di bahu Widi. Ia genggam tangan sahabatnya. “Kok kamu diam? Kita masih BBFF, kan?”
“Masih, kok.”
Kedua pria bot itu kembali mengobrol santai. Di ambang pintu Maddy tersenyum melihat Ronan bisa kembali ceria. Dia berharap sekali Widi bisa membantu adiknya kali ini. Sebenarnya Maddy juga sempat mencari di mana Nando berada, dia sempat datang ke kantor Nando. Namun, dicegat dan tak boleh masuk oleh penjaga di sana. Ada beberapa nama yang masuk daftar hitam Nando. Sangat terlarang untuk masuk ke kantor Nando, iNVT.
*
Dalam dukanya, Nando masih beraktivitas seperti biasa. Dengan bekerja keras untuk mengalihkan kesedihannya atas kehilangan Celestino. Selain itu Nando juga semakin religius. Ia banyak menghabiskan waktunya di gereja. Berdoa, melakukan pengakuan dosa, atau sekadar berbincang dengan pastor di sana.
Nando juga jadi rajin mengunjungi panti asuhan untuk memberikan hadiah, berupa makanan atau benda-benda yang dibutuhkan oleh anak-anak di sana.
Kadang-kadang Nando juga berlatih sepak bola dengan teman-teman dari Spanyol. Sambil berlatih sepak bola, mereka juga merencanakan untuk menonton langsung pertandingan sepak bola antara FC Barcelona melawan Real Madrid C.F. di Spanyol. Mereka akan pulang kampung bersama.
Sebelum memulai laga sepak bola dimulai, Nando ditelepon oleh sang pengacara. Di dalam sambungannya, si pengacara mengabarkan kalau perceraian mereka butuh waktu lebih lama karena kasus perceraian sedang meningkat akhir-akhir ini. Nando yang tak mau ambil pusing hanya iya-iya saja.
“Lakukan saja tugasmu. Aku tak mau bertemu dengan Ronan di pengadilan. Buat saja semuanya lebih mudah. Sampai jumpa.” Nando langsung menutup teleponnya.
Setelah meletakkan ponsel dalam tas, ia mengencangkan tali sepatunya. Kemudian berkumpul bersama teman-teman untuk melakukan pemanasan dan lari keliling lapangan. Nando yang masih segar bugar di usia lebih dari enam puluh tahun sangat menikmati aktivitas ini. Sambil berlari ia teringat pada kenangan main bola bersama Celestino.
“Jangan bengong, Kakek!” celetuk salah satu teman Nando yang berhasil menyalipnya.
Nando tertawa. Ia segera menyusul temannya. Namun, dadanya terasa sesak. Ia merasakan sakit luar biasa pada dada sebelah kirinya. Perlahan pandangan Nando memburam. Ia berhenti berlari kemudian jatuh tersungkur ke tanah.
“Medis! Medis!” panggil teman Nando saat melihat pria besar itu tersungkur.
Beberapa orang tenaga medis datang. Ketika denyut jantung Nando menghilang, mereka segera melakukan CPR sambil membawa Nando ke rumah sakit. Teman-teman Nando yang panik seketika menghentikan aktivitas mereka. Salah satu dari mereka menelepon anggota keluarga Nando yang paling dekat, Ronan.
*
Lorong itu begitu terang dan seluruhnya berwarna putih. Di ujung sana, terdapat sebuah pintu kayu berwarna cokelat. Terdengar suara tawa Celestino menggema. Nando segera berlari menuju pintu itu. Ia rindu pada anaknya. Ia yakin Celestino ada di dalam sana. Tapi, saat Nando tinggal membuka pintu, ia ragu. Jika ia membukanya, apakah Celestino akan kembali padanya, atau ia akan mengikuti Celestino?
“Apa pun itu ....”
Pintu itu kini terbuka. Sebuah ruangan serba putih menyambut Nando. Nando mengedarkan pandangan ke segala arah sampai ia menemukan Celestino dan Jon duduk bersama sambil meminum teh.
“Hai, Pak Tua.” Jon yang terlihat begitu tampan segera berdiri dan memeluk Nando. “Apa kabar?”
“Aku, aku ... Apakah aku sudah mati?” tanya Nando pada Jon.
“Entahlah. Bagaimana menurutmu?”
Celestino bangkit dari duduknya. “Papa!”
“Mi hijo!” Nando memeluk Celestino.
“Papa!” Celestino mengajak Nando duduk bersama. Di sana sudah ada tiga cangkir teh. “Tu quieres té?”
“Si, gracias.”
Nando menyesap tehnya. Ia menatap putranya begitu dalam. “Papa sangat merindukanmu.”
“Aku juga. Aku senang bisa bertemu Papa lagi.”
“Aku minta maaf. Andai saja aku tak meminta Ronan untuk menjemputmu, kita pasti masih bersama.”
“Papa, ini semua sudah takdir. Aku memang harus pergi. Ini bukan salahmu atau Bello,” ujar Celestino. “Hidupku memang singkat. Tapi aku senang bisa memiliki ayah sebaik kalian. Tolong jangan marah-marah lagi pada Bello. Kasihan dia. Dia sangat mencintaimu.”
Nando menunjukkan wajah yang tidak bersahabat karena tak setuju dengan ucapan sang anak.
“Maafkan suamimu. Aku berjanji akan menjaga anakmu di sini.”
“Ya, Papa. Aku akan menatapmu dari langit. Jika kau rindu padaku, berdoalah, sampaikan rindumu padaku, tataplah langit malam yang penuh bintang. Aku akan ada di sana.” Celestino memegang tangan ayahnya. “Papa harus kembali ke kehidupanmu tanpa aku, tapi Papa harus bahagia. Papa juga harus kembali pada Ronan. Dia akan menjadi orang yang paling menyayangimu. Papa tahu itu, kan?”
Nando mengangguk pelan. Kesedihan di wajahnya kembali terlihat. Ia berpelukan dengan anaknya. “Jaga dirimu baik-baik, ya. Papa sangat mencintaimu.”
“Aku juga sangat mencintaimu, Papa.”
Ketika pelukan itu berakhir, air mata Nando langsung mengalir deras. Jon yang sudah berdiri langsung menepuk bahunya dan menawarkan pelukan.
“Kau akan baik-baik saja, Nando. Kau akan bahagia.”
Satu-satunya pintu di ruangan itu tiba-tiba terbuka. Menampilkan cahaya yang begitu terang. Tak lama terlihat sosok Ronan di ruang tunggu IGD tengah menangis dan terlihat sangat tidak berdaya.
“Dia menunggumu, Papa. Kau harus pergi. Jangan sampai kau kehilangan tempat di hatinya,” ucap Celestino. “Aku akan baik-baik saja di sini.”
“Ya, Nak. Sampai jumpa lagi.” Nando berusaha tersenyum. Ia menatap Jon. “Titip anakku, ya. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa,” kata Jon sambil melambaikan tangan.
“Sampai jumpa, Papa.” Seulas senyum terakhir Celestino berikan untuk sang ayah.
Nando menatap Ronan yang menangis. Hatinya tersentuh melihat pria ceroboh itu menangisinya. Sekali lagi, Nando menatap Celestino dan Jon. Ia lambaikan tangannya tanda perpisahan. Kemudian dia keluar dari pintu yang akan memisahkan dunianya dan dunia sang anak.
*
“CLEAR!”
Dokter itu berseru sebelum menempelkan pedal defibrilator ke dada Nando. Aliran listrik mengalir. Ini adalah percobaan terakhir untuk mengembalikan detak jantung Nando. Layar monitor kembali berbunyi dan menampilkan denyut jantung Nando yang lemah. Para dokter terlihat begitu lega dengan kejadian ini. Satu nyawa berhasil diselamatkan hari ini.
“Mari kabarkan ini pada keluarganya,” ujar salah satu dokter.
*
24 Oktober 2023Halo, senang sekali bisa berjumpa dengan kalian.
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Vote dan komentarnya ditunggu, lho.
Sampai jumpa lagi.
Mmuach.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
Storie d'amoreApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?