Aku ingat saat-saat kau menggenggam tanganku erat. Mengucapkan beberapa kalimat yang tentu saja membuatku amat terpikat. Akhirnya kita memilih untuk berserikat. Menjalin hubungan–yang tak pernah terpikir akan tersekat begitu cepat.
Hari-hari terus berjalan dengan pancarona menghiasi awan renjana. Tak pernah sekalipun juga hujan berhasil menjalankan misi untuk menghapus semua pusat bahagia.
Semuanya sirna dengan sempurna, tatkala tiba-tiba kau mengajakku bersua. Beberapa jam tergulir dengan normalnya, hingga detik kesekian; jantungku sudah siap meloncat dari tempatnya.
aku tertipu dengan normal dalam prasangka. Kupikir, senyummu masih sama. Bahagiamu masih aku salah satunya. ternyata tidak begitu fakta yang ada. dengan secepat kilat, kau mengeluarkan secarik kertas yang diselimuti amplop berwarna jingga. Itu undangan; pernikahan.
Sepersekian detik setelah jantung berhenti berdetak. Air mata tumpah ruah membasahi dua pipi yang dulunya senang sekali kau singgahi. Tanganmu tidak bergerak mengusap sumber luka di pelupuk mata kali ini. Kau hanya diam–enggan menjelaskan mengapa harus aku yang ditinggalkan.
selepas memberi duka, kau pergi begitu saja meninggalkan hati yang sudah porak poranda. Sayatan terus tergurat dimana-mana; membuatku tak ada waktu untuk tetap berdiri kuat.
bodohnya, setelah kau tinggalkan aku dengan amplop jingga itu. Mataku terbuka lebar untuk melihat dengan benar dua nama yang saling bersandar. Berharap ada aku, namun tidak begitu.
berat hati kuterima duka ini,
senang hati kauterima dia kini; ironis