09 : sebuah konstanitas -

206 40 15
                                    

Teguh menghabiskan sarapannya yang ia buat dengan terburu buru. Sambil mengunyah roti lapis, ia melirik gelisah ke arah pintu kamar orang tuanya. Aktifitas paginya cukup menyibukkan dirinya hari ini.

Tepat ketika ia meneguk bulir terakhir dari susunya, suara pintu terbuka mengetuk gendang telinganya. Seolah refleks, ia kini menyampirkan tas ranselnya di bahunya yang sempit. Menandakan bahwa waktunya kini habis, dan ia harus berangkat sekolah sekarang.

"Belum berangkat kamu?" Sayangnya suara yang ia hindari pagi ini menginterupsi kegiatannya memutar kenop pintu. Dengan ragu ia menoleh ke sumber suara tersebut dan menemukan presensi Radit.

"Iya pa, ini Teguh mau berangkat." Teguh sedikit menunduk karena mengingat amarah Radit terakhir kali. Ia tak mau mengulang rasa sakit itu lagi.

"Belajar yang benar. Papa ngga mau liat nilaimu turun, apalagi sampe masuk ruang kerja papa,"

Tanpa sadar kepala Teguh terangkat mendengar nada bicara Radit yang santai namun masih sarat akan makna tersebut. Urat nadinya timbul dengan samar ketika melihat Radit yang mendekatinya dan memegang dagunya,

"Papa sayang Teguh, Teguh anak baik kan? Papa harap Teguh ga tawuran lagi di luar sana," Tangan kekar itu beralih mengelus halus perban yang sengaja disembunyikan Teguh dibalik rambutnya. Memberikan suggesti bahwa apa yang ia dapat itu berkat kenakalannya di sekolah. Tentu saja Teguh menangkap maksud tersirat itu.

Pemuda yang belum memiliki kartu kependudukan itu mundur dan menyamarkan kembali perban kecil itu dengan rambutnya. Senyuman tipis kini timbul di pipinya. Benar, Teguh seharusnya tidak takut dengan Radit. Selama Teguh menjadi anak baik seperti yang diharapkan pria tua itu, Teguh akan baik baik saja. Ia hanya perlu melanggar aturan papanya di belakang.

❛❛occasion -

Bel berbunyi, tepat ketika Teguh menduduki bangku ternyamannya di kelas. Matanya menatap ramainya siswa dan siswi yang masuk ke kelas secara dorong dorongan karena hari ini jadwal guru killer mereka yang mengajar.

Tanpa sadar mata Teguh menatap jendela disampingnya yang mengarah langsung ke halaman depan sekolah mereka. Tampak wajah familiar dengan paras yang sedikit pucat baru saja turun dari mobil. Wajah itu sedikit ketakutan tak kala menatap guru BK yang menangani murid terlambat.

'Kenapa dia masuk hari ini? Apa papa tau?'

Mendadak muncul kekhawatiran Teguh ketika melihat guru BK itu menunjuk nunjuk siswa terlambat itu secara bergantian. Guru tersebut pasti sedang memarahi siswa tersebut, lalu mencatat namanya dan terakhir,

Memberikan mereka hukuman.

Sudah seperti pengalaman teman temannya yang terlambat, pasti hukuman tersebut berkaitan dengan fisik. Entah membersihkan toilet, menyapu halaman atau berlari mengelilingi lapangan. Dan semua itu sangat bagus untuk meningkatkan kekhawatiran Teguh.

"Lo kenapa?"

Kepala Teguh segera tertoleh menatap teman sebangkunya yang pendiam, bernama Satria. Matanya bergulir cemas, memikirkan apakah ia harus menyusul adeknya- Kamal di bawah atau tetap berada di kelas mengikuti pelajaran sang guru killer.

Jika dirinya berada di kelas sekarang, bukannya tak mungkin Kamal akan kambuh nanti dan Radit akan mengetahuinya. Namun jika dirinya keluar kelas sekarang, maka absensinya akan kosong yang tentunya akan berpengaruh pada nilainya serta Radit akan marah pada dirinya karena telah membuat pria tua itu kecewa. Mau bagaimana pun keduanya beresiko sekarang. Bedanya, Kamal akan baik baik saja.

"Sat, gue mau keluar sebentar gapapa kali ya?"

"Lo mau apa? Jangan aneh aneh, kita ada ulangan hari ini," Seolah membaca maksud Teguh, Satria mengingatkan pemuda itu dengan cepat, "Lo mungkin lupa karena keasikan ngerangkum kemarin, tapi pak Dani bilang kita bakal ulangan di pertemuan berikutnya," Satria mengenggam tangan Teguh ketika pemuda itu berdiri.

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang