prolog

17 1 0
                                    

"HEI SIALAN! KAU SERIUS TIDAK AKAN KEMBALI?!" Teriak Joan kepadaku. Gadis tomboy dengan mulut kasar itu benar-benar membuatku muak. Dia berbicara seolah-olah peduli padaku, nyatanya? Aku yakin dalam hati ia sedang bersorak gembira mendengar kabar pengunduran diri ku.

"Br*ngsek. Apa efek terlalu lama berada di medan perang sekarang membuatnya tuli, hah?" Gumamnya dengan nada frustasi.

Dasar gila, aku masih dapat mendengarnya, tahu?

Kudengar suara langkah kaki Joan semakin mendekat. Hingga tanpa sadar Joan kini telah berada tepat dibelakang ku dengan napas yang memburu dan penuh keringat.

"Eve sialan, sejujurnya aku sangat tidak ingin mengatakan ini. Tapi komandan ku akan terlihat semakin mengenaskan tanpamu. Kau tahu? Tanpamu dia bagaikan manusia penuh otot tanpa otak. Kembalilah, sebelum negara ini hancur karena tindakan mu."

Aku memijit pelipis pelan, sungguh kepalaku rasanya seperti akan meledak. "aku tidak sebodoh itu meninggalkan kalian tanpa ada rencana apa-apa. Semua strategi sudah aku sampaikan pada Elan. Lagipula peperangan akan segera berakhir. Pihak lawan pun sudah ku pastikan akan kalah, prajurit mereka sudah tumbang terlalu banyak."

Gadis pendek bersurai hitam legam itu berdecak, "ck, bagaimana bisa kamu sepercaya diri itu? Setidaknya bertahanlah sebentar lagi."

"Ti-dak ma-u. Adanya aku disini tidak memberi pengaruh apapun. Tanpa otakku, kemampuan ku sudah dipastikan setara dengan anak baru dari divisi gagak hitam." Tolak ku dengan tegas.

Sekali lagi gadis itu berdecak, "ck, ayo lahh. Aku berjanji akan memohon-mohon pada komandan untuk menaruh mu dibarisan belakang."

"Sama saja bodoh, dibelakang pun ada kemungkinan besar aku akan mendapat penyerangan. Terlebih lagi aku juga harus melindungi para tenaga medis? Sungguh merepotkan."

"Jadi kamu tidak mau melindungi Rie dan teman-temannya?"

Aku seketika tersentak, lagi-lagi aku mengatakan hal sembrono dan keterlaluan. Benar-benar mulutku ini. "Ah... bukan itu maksudku.."

Setelah terdiam cukup lama, Joan akhirnya menyerah. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi lalu berbicara untuk terakhir kalinya padaku, "ya sudahlah, terserah mu. Aku lelah berdebat dengan batu."

Joan kemudian berbalik dan berjalan menuju markas. Namun sebelum itu, kulihat ia berpapasan dengan Rie dan melakukan sedikit percakapan dengannya. Percakapan yang sangat biasa terjadi, Joan yang marah-marah dan Rie yang berusaha untuk menenangkannya. Mungkinkah Joan mengadukan ucapan tak berperasaan ku pada Rie? Yah, mungkin saja.

Aku menghela napas dan menatap punggung mereka berdua dengan mata nanar. Setidaknya masih ada Rie disisi Joan. Rie bagaikan sekuntum bunga lili putih yang entah bagaimana bisa berada diantara bunga-bunga mawar berwarna merah pekat. Dia terlalu tidak cocok berada di medan perang yang penuh simbah darah.

Rie yang setidak cocok itu saja masih tahan ditempat kejam ini. Sedangkan aku? Aku yang baru menjalani kehidupan ini selama lima tahun akhirnya memilih untuk berhenti. Untuk alasan yang terlalu mendadak, tidak masuk akal, dan sangat menyakitkan. Bahkan sampai matipun aku tidak akan memberitahu hal ini pada mereka.

Tidak akan pernah.













Selamanya.







—to be continued.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EVE: our commenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang