[2] Mom

37 6 0
                                    

Ternyata, perempuan yang berstatus sebagai ilmuan itu bernama Agnes. Setelah mengetahui masalah nomor satu bagi Bibi adalah rasa kantuknya yang tak ketulungan, Agnes pun mengatakan bahwa dia akan segera menciptakan ramuan untuk membantu Bibi mengatasi rasa kantuknya agar lelaki itu kehabisan alasan untuk menolak, berhenti egois dan berleha-leha di rumah, lalu memiliki kesadaran untuk melakukan tugasnya yang sebenarnya, yaitu sebagai seorang pahlawan yang pada hakikatnya memang membantu dan melindungi orang lain, bukannya tidur di rumah saat negara sedang berada dalam bahaya.

Jujur saja, Bibi tak menyukai Agnes, tapi Bibi juga bukannya membenci Agnes. Menurut Bibi, Agnes adalah perempuan yang keras dan pengatur, benar-benar bukan tipikal manusia yang Bibi senangi. Tak hanya itu, Bibi juga jadi sering ke rumah Agnes yang penuh dengan alat seputar sains, dengan maksud agar Agnes bisa mempelajari tubuh Bibi dan mengambil beberapa sampel untuk membuat ramuan yang Agnes maksud tadi.

"Pokoknya aku gak mau yang itu! Aku maunya yang warna emas tadi!"

Bibi yang baru saja keluar dari supermarket dan menyeruput kopi hangatnya, lantas berhenti dari langkahnya dan menaikkan sebelah alisnya ketika suara nyaring anak kecil itu menyita perhatiannya. Anak laki-laki itu memasang wajah marah, menghentak-hentakkan kakinya di depan ibunya yang memegang banyak sekali barang belanjaan, sepertinya sedang meributkan mainan. Merasa tak dituruti, anak kecil itupun mulai duduk di permukaan lantai, lalu memukul-mukul betis ibunya yang tak menuruti permintaannya.

Bibi menyipitkan kedua matanya. Tanpa pikir panjang, Bibi pun berjalan mendekat. "Eh. Bangun."

Anak lelaki itupun menoleh dengan kesal.

"Bangun, gak?" kata Bibi, menarik tangan anak lelaki itu untuk bangun dari duduknya. "Udah kaya ulet bulu aja kamu meliuk-liuk gitu. Kasian ibu kamu, udah capek bawa banyak barang, ditambah bawa anak nyebelin yang gak guna kaya kamu."

Anak lelaki itu tampak semakin tersulut emosi, lalu bangun dari posisinya dan mengepalkan tinjunya, mendaratkan pukulan yang tak seberapa itu di perut Bibi. Spontan, tangan anak lelaki itupun mental, bersamaan dengan tubuhnya. Tubuhnya terdorong sangat jauh, terhenyak jatuh ke lampu lalu lintas yang terletak cukup jauh dari posisi awal mereka. Hal itu bukan kehendak Bibi. Hal itu terjadi begitu saja, suatu bentuk perlindungan spontan dari kekuatan yang Bibi miliki, dan membuncah keluar begitu saja karena Bibi belum belajar mengendalikannya.

Ibu dari anak itu melebarkan kedua matanya, kaget. Wanita itupun berlari cepat ke arah anaknya yang sudah terkulai lemas tersebut. "Ya Tuhan! Kamu apain anak saya?"

Hal itu membuat Bibi pun dipanggil oleh Kaisar Naotama, mengingat bahwa pahlawan super memang tidak dibenarkan untuk berurusan dengan polisi negara karena semua hal yang pahlawan super lakukan itu valid, mengingat bahwa tugas mereka memang bertarung dan itu berat.

"Aku kan minta kamu untuk lindungin rakyat. Kenapa kamu malah ngelakuin sebaliknya? Anak-anak, lagi," ujar Kaisar Naotama, memijit dahinya. "Aneh. Kamu emang aneh banget, Bibi. Aku yang salah karena asal pilih orang untuk dititipin kekuatan super. Gak semua orang punya kapasitas untuk menampung itu, ternyata."

Tak semua orang memiliki kapasitas untuk menjadi orang baik, Bibi akui itu. Bibi akui juga, dia memang bukan orang yang baik.

Setelah menerima omelan dari Kaisar Naotama secara bulat-bulat, Bibi pun pergi ke rumah Agnes, hari ini memang jadwalnya dia ke rumah Agnes untuk pengecekan tubuh dan pengambilan sampel lagi. Sejauh ini, Agnes sudah membuat dua ramuan dan tak satupun dari ramuan itu mempan di tubuh Bibi.

"Aku denger kamu celakain anak kecil, hari ini," ujar Agnes dengan mata yang fokus ke layar komputernya, memeriksa sampel yang baru saja diambil dari tubuh Bibi. "Ternyata, kita emang salah banget udah nunjuk kamu sebagai pahlawan super, ya."

"Bener," aku Bibi. "Gak semua orang punya kapasitas untuk jadi orang baik, apalagi ngelindungin orang. Emangnya kekuatan super ini gak bisa diambil lagi dari badanku aja, apa?"

"Kalau bisa, aku gak bakalan repot bikin ramuan baru gini," ucap Agnes, menyodorkan sebuah ramuan merah muda campur ungu yang ada di sebuah gelas kaca. Bentuknya menarik, tapi Bibi berani bertaruh, rasanya tetap tak karuan seperti biasanya. "Terus, kamu juga jadi gak perlu bikin anak kecil masuk rumah sakit dan dapet 27 jahitan."

"Ah, gak perlu diingetin," Bibi menghela napasnya. "Aku cuma belain ibunya. Dia nakal ke ibunya."

"Apa?" tanya Agnes, memicingkan matanya. Agnes pun duduk di kursi komputernya, lalu menggeser kursi beroda itu mendekat ke Bibi. "Dia nakal sama ibunya? Itu alasan kamu bikin dia masuk rumah sakit gitu?"

"Dengerin dulu. Dia mukul ibunya."

"Ya, namanya juga anak kecil."

"Justru karena anak kecil," ujar Bibi. "Anak kecil mau dibiarin ngelawan ibunya, pas gede mau jadi apa?"

"Ibunya aja gak masalah." Agnes menaikkan kedua bahunya.

Bibi terdiam sejenak. "Yah, mungkin aku aja yang terlalu sensitif soal itu, ya."

"Yah, kamu boleh pulang sekarang biar kamu bisa ngunjungin ibumu juga," ucap Agnes bercanda, bangun dari posisinya dan merenggangkan tubuh. "Ah, pegel banget."

"Ibu ayahku udah gak ada," ucap Bibi, bangun dari posisinya. "Yah, kalau gitu aku pulang dulu."

Sleeby Eyes [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang