Trentuno

310 11 0
                                    

"Lo ngapain di depan kamar kos gue?!"

Sosok laki-laki yang duduk sambil bermain game di ponselnya itu mendongak. Dia menatap Kirania dengan wajah lelah. Cakra lantas berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Dia tersenyum sambil menggaruk kepala belakang dengan gerakan canggung.

"Gue... nungguin lo pulang," jawab laki-laki itu lirih.

Kirania menoleh ke belakang dan segera berjalan ke depan pintu kamar. Gadis itu segera membuka pintu kamarnya dan menoleh kembali ke arah Cakra. Dia diam saja dengan wajah malasnya. Cakra memilih menunduk dan menghindari kontak mata dengan Kirania.

Kirania masuk ke dalam kamar diikuti oleh Cakra yang masih terlihat menunduk dengan wajah ragu-ragu. Kemudian mereka berdua sama-sama duduk di atas karpet yang terbentang di atas lantai kamar. Cakra kemudian menghela napas panjang dan membuat Kirania memicingkan mata tajam.

"Lo mau ngapain ke sini? Jawab yang jujur, Ca!" ucap Kirania dengan nada tegas.

Cakra tersenyum kaku. "Gue... cuma mau ketemu lo."

"Sekarang lo udah ketemu sama gue." Kirania berdiri dan membuka lemari pakaian. "Lo mau ngomong apa?" tanya Kirania.

Pintu kamar itu tidak tertutup. Kirania sengaja membukanya lebar supaya tidak menimbulkan fitnah dari tetangga kosnya. Beberapa orang yang berada di kos itu sudah tahu kalau Kirania adalah pacar Harsa, bukan Cakra. Dia juga baru saja bertemu dengan Harsa, jadi alangkah baiknya jika dia menjaga kepercayaan kekasihnya itu.

Cakra melirik Kirania yang sedang membersihkan wajahnya dengan cairan bening dari botol bertutup pink yang ada di atas meja. Cakra tidak tahu benda apa yang digunakan oleh Kirania, dia hanya tahu jika itu adalah salah satu rangkaian skincare yang dipakai oleh gadis itu.

"Gue mau balikin duit lo," jawab Cakra sambil merogoh saku celana bagian belakangnya.

Kirania yang sedang menghapus bedak di wajahnya sontak berhenti bergerak. Dia berbalik dan menatap uang yang ada di tangan Cakra. Gadis itu membuang napas kasar. Dia tidak suka dengan tindakan Cakra. Meski dia tahu maksud laki-laki itu baik tapi Kirania akan merasa bersalah. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang hanya mengambil keuntungan dari temannya tanpa membalas budi.

"Gue udah bilang lo berhak terima uang itu, Ca." Kirania berjalan ke arah teras untuk membuang kapasnya yang sudah kotor ke dalam tempat sampah.

Gadis itu kemudian kembali masuk dan duduk di depan Cakra. "Gue utang budi ke lo. Gue nggak bisa melakukan hal lain selain bayar utang gue ditambah bunga yang gue tentukan sendiri. Kalau nggak ada lo kemarin, gue udah pasti dapat omongan pedas dari orang tua gue. Karena sebagai anak sulung, gue nggak bisa beliin adik-adik gue laptop. Percayalah, rasa sakit hati gue akan jauh lebih besar kalau kedua orang tua gue kembali ngomong hal yang nyakitin gue. Mental gue lebih penting sekarang dan lo adalah salah satu orang baik yang secara nggak langsung udah bantuin gue." Kirania tersenyum tipis dengan suaranya yang terdengar bergetar di akhir kalimat.

Cakra terdiam dan menatap raut wajah tulus gadis di hadapannya itu. Sorot mata Kirania yang biasanya terlihat bersemangat kini meredup, seredup hati Cakra. Perasaan sedih begitu terasa di dalam kamar kos sederhana itu. Tangan Cakra yang masih memegang uang untuk Kirania kini terasa kaku dan berkeringat.

Apa yang bisa dia lakukan untuk Kirania? Cakra sedang berpikir keras sekarang tapi tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Sampai kemudian, laki-laki itu ingat dengan ucapan Rora ketika mereka berada di Bandung.

"Kirania pengen banget jadi pelukis. Dia pengen pergi ke Italia. Kadang lihat dia lagi kerja di kantor bikin gue ngerasa kasihan. Dia kurang perhatian orang tua dan cita-citanya juga nggak tahu kapan bakal terwujud. Setiap hari kerja tapi duitnya belum juga kekumpul buat ke Italia."

Cakra kemudian mengerjapkan mata dan mengulurkan uang itu kepada Kirania. "Ini buat lo, dari gue. Sebagai teman. Gue minta lo buat berhenti bayar utang pakai bunga. Gue tulus bantu lo. Kalau begini, gue malah merasa kalau gue ngambil untung dari nolongin lo. Lo tetap bisa bayar utang lo ke gue. Sekali-sekali lo traktir gue bakso Malang juga nggak apa-apa." Cakra tersenyum lebar.

Kirania mengalah. Dia meraih uang yang disodorkan oleh Cakra sambil mengangguk dan itu berarti ia setuju dengan permintaan Cakra. Tetap membayar utang tanpa menambahkan bunga di dalamnya. Sungguh, Kirania tidak tahu bagaimana harus menilai sosok Cakra. Laki-laki baik hati yang tidak bisa menjadi miliknya.

"Kalau gitu gue pulang dulu, ya!" Cakra kemudian berdiri dan berjalan ke arah pintu.

Kirania mendongak. "Cuma begini aja, Ca?" Ini adalah kalimat tanya yang tidak benar-benar Kirania ungkapkan kepada Cakra.

Kalimat itu hanya berakhir di ujung lidahnya. Kepala gadis itu mengangguk pelan meski hatinya terasa berat. Cakra melambaikan tangan kepada Kirania yang masih terpaku di tempatnya. Gadis itu tersenyum tipis dengan mata yang masih redup. Cakra berlalu meninggalkan kamar kos Kirania dan menyisakan rasa tidak rela di dalam hati gadis itu.

"Ingat Harsa, Ki!" batin Kirania.

***

Sudah lima hari pasca kedatangan Cakra di kosnya, Kirania sama sekali tidak mendengar kabar dari laki-laki itu. Dia tidak berusaha mencari tahu dan membiarkan semuanya berjalan apa adanya. Cakra sudah memiliki Jelita dan Kirania merasa tidak etis jika dia menghubungi Cakra hanya untuk bertanya kabar. Meski sebenarnya hal itu sah-sah saja jika terjadi di antara dua orang yang berteman baik. Sayang sekali, bagi Kirania mereka berdua sebenarnya bisa saja menjadi lebih dari sekedar teman baik dan itu membuatnya merasa keberatan jika harus menanyakan kabar Cakra di saat laki-laki itu fokus dengan Jelita.

"Mikir apa, sih?"

Kirania merasakan sensasi dingin di dahinya. Harsa tertawa melihat Kirania menarik kepalanya ke belakang dan mengernyit dalam. Harsa sengaja meletakkan es krim di dahi Kirania setelah melihat kekasihnya itu melamun sampai tidak sadar jika dirinya sudah kembali dari membeli beberapa keperluan di minimarket.

"Dingin, Sa!" gerutu Kirania sambil mengusap dahinya dengan jemari tangan.

Harsa hanya tertawa dan dia tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan meminta Kirania untuk berdiri. Hari sudah sore dan mereka sedang berada di teras minimarket. Kirania menurut dan menggandeng tangan hangat kekasihnya itu.

Tanpa sadar, bibirnya tertarik ke atas. "Sekarang aku ada yang jagain," ucap Kirania.

Harsa terkekeh pelan. "Memangnya sebelumnya nggak ada yang jagain kamu?" tanyanya.

Kirania tertawa pelan. "Nggak ada," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Aku bosen di kos. Malam ini, kamu nggak ada rencana buat ngajak aku jalan-jalan?"

Harsa menoleh tepat ketika Kirania membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Harsa tersenyum. Dia membungkukkan tubuhnya dan tubuhnya kini berada di dalam mobil, tepat di depan Kirania yang baru saja duduk dengan nyaman. Wajah Harsa berada tepat di depan wajah Kirania. Pipi gadis itu bersemu kemerahan.

"Cantik," ucap Harsa.

Kemudian dengan cepat, laki-laki itu mengecup bibir Kirania. "Kita makan malam di rumahku aja, ya? Sekalian aku kenalin ke keluargaku."

Kirania mematung. Harsa nampak menarik tubuhnya dan menutup pintu mobil. Kemudian dia berjalan memutari mobilnya di saat Kirania masih menatap kekasihnya itu tanpa berkedip. Sesaat kemudian setelah Harsa masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya, Kirania menoleh ke samping dengan wajah panik.

"Sa, aku belum siap ketemu mereka."  

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang