iv.v. 2016, dan pendewasaannya sendiri-sendiri

59 5 1
                                    

Saat itu, si pencerita dari masing-masing di antara kita diam saja tanpa berbicara apa-apa kepadanya yang selalu lapang mendengarkan. Ia hanya tersenyum. Mengingat bagaimana syahdunya perpisahan kita yang baik-baik saja.

Pukul empat dini hari, kebetulan Damara dan ibunya sedang bersiap-siap untuk mengantar keberangkan Mandela ke Jepang.

"Duh, Nak. Apa Ibu juga haru ikut?" tanya sang ibu.

"Tentu saja, Bu. Naya tidak akan pulang untuk waktu yang lama. Setidaknya, Ibu harus bertemu dengan calon menantumu."

Sang ibu yang awalnya masih sedikit mengantuk langsung segar bugar.

"Yang benar kamu, Dam?"

"Iya, Bu."

"Kamu tidak banyak bercerita ke Ibu soal itu."

Damara hanya bisa tersenyum kecil. Mengingat bagaimana ragunya ia untuk menceritakan apa pun kisahnya kepada sang ibu.

Tidak banyak yang ibunya ketahui tentang Naya. Yang beliau ketahui hanyalah Damara yang sedang berjuang untuk memenuhi keinginan sang ibu dan bagaimana ia dipukul mundur oleh kenyataan jika ia sempat di tolak oleh calon mertuanya. Akan tetapi, sekarang tidak lagi.

"Iya, Bu. Soalnya Damara takut mengecewakan Ibu. Makanya Damara tidak menceritakan semuanya."

"Dengan yang membuatmu menangis itu, kah, Kasep?"

Damara tersenyum sekali lagi. "Bukan Naya yang buat Damara menangis, Bu. Tapi, ketakutan Damara yang buat Damara menangis saat itu."

"Tak apa, Dam. Kamu anak Ibu yang paling hebat. Sudah berjuang sepantas itu sampai saat ini. Buktinya, saat ini kamu mau mengenalkannya kepada, Ibu."

"Iya, Bu. Terima kasih. Semua ini juga berkat doa dari Ibu."

"Sama-sama, Kasep."

Pada akhirnya, tidak ada manusia paling hebat di dunia ini selain ibunya. Damara bersyukur terlahir dari rahim seorang wanita sehebat ini.

Setelah selesai bersiap-siap, Damara dan ibunya lekas berangkat menuju rumah Naya menggunakan MX andalannya. Rencananya, Naya akan berangkat Jepang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pun, Damara diminta oleh Sugiri untuk serta mengajak ibunya untuk mengantar dan sekalian berkenalan.

Tak butuh waktu lama, Damara dan ibunya sampai di depan rumah Naya yang ternyata gerbangnya sudah terbuka lebar. Setelah masuk pekarangan, ternyata ada Naya dan Sugiri yang sudah menunggu kedatangannya di depan teras rumah.

"Itu Damara, Pak. Dengan sosok yang paling disayanginya," ujar Naya riang.

Sugiri hanya terkekeh. "Lalu bagaimana denganmu? Apa kau juga disayangi oleh Damara"

Mendengar perkataan barusan, sukses membuat Naya memutar bola mata malas. "Itu beda, ya, Pak. Damara menyayangi ibunya sama seperti Naya menyayangi Bapak!"

"Iya-iya. Bapak hanya bercanda."

Di sela-sela cengkrama tersebut, terdengar sopan sebuah salam dari seorang lelaki dan ibunya. Damara lekas tersenyum dan menyalimi Sugiri. Disusul oleh ibunya yang berjabat tangan.

"Pak, kenalkan. Ini adalah Ibu saya. Rengganis," ucap Damara.

Suguri menyambutnya dengan senyuman, lalu memperkenalkan dirinya kepada Rengganis. Kemudian, setelah itu Sugiri menyuruh Naha untuk memperkenalkan diri di depan Rengganis.

Jujur saja, saat ini Naya benar-benar gugup berdiri di hadapan calon mertuanya. Saat ini, ia benar-benar sedang merasakan apa yang Damara rasakan saat pertama kali bertemu dengan bapak.

Rengganis adalah wanita yang cantik walau usianya sudah tidak muda lagi. Perlahan Naya paham dari mana asal wajah manis milik Damara. Ternyata itu semua diturunkan dari ibunya.

"Ha-halo, Ibu. Aku Naya. Senang bertemu dengan Ibu," katanya sedikit gelagapan.

Rengganis yang saat itu sedang menggunakan selendang yang ia kenakan untuk menutupi rambutnya sedikit ia rapikan posisinya untuk merangkul Naya dan menariknya ke dalam pelukannya.

"Salam kenal, Sayang. Ibu sudah benar-benar menantikan waktu ini. Di mana Damara mempertmukan ibu dengan seseorang yang diperjuangkannya."

Naya hanya bisa tersenyum di pelukkan Rengganis. Dengan setitik air mata yang turun dari semestanya. Pelukkan Rengganis benar-benar mengingatkannya terhadap mendiang ibunya yang sudah berpulang terlebih dahulu menemui Ia yang sedang duduk di atas sana sambil melihat momen yang terhormat ini.

"Kamu kenapa menangis, Nak?"

"Tidak, Ibu. Naya tidak apa-apa. Naya cuma teringat ibu Naya saja."

Rengganis yang mafhum atas Naya justru semakin mengeratkan pelukkannya.

"Kamu juga anak Ibu, Sayang."

Setelah mendengar hal tersebut, Naya justru semakin deras menangis atas kehangatan yang datang menghampirinya di waktu yang baik ini.

Sugiri yang melihat momen haru ini justu malah mendekat ke arah Damara yang berdiri lumayan jauh di belakang Rengganis.

"Dam, Naha beruntung bertemu denganmu," ucap Sugiri pelan.

Namun, Damara malah menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak. Justru Damara yang beruntung bertemu dengan Naya."

Tidak ada percakapan lagi. Setelah itu. Selain Sugiri. Yang sedang mengusap puncak kepala Damara pelan.

***

Sementara Sugiri sedang melakukan pemeriksaan barang bawaan sebelum berangkat, masih di teras rumah, Damara dan Naya sedang duduk di antara Rengganis.

"Naya?" panggil Rengganis.

"Iya, Bu?" sahutnya.

"Dulu Ibu pernah berbicara kepada Damara begini. Jangan pernah membawa seorang pun wanita ke hadapan Ibu kalau itu untuk menyakitinya saja."

Sedangkan Damara hanya diam dan mendengarkan.

"Benarkah, Bu?"

Rengganis mengangguk. "Iya. Mungki gara-gara itu pula Damara lama sekali tidak membawa seorangpun untuk bertemu dengan Ibu. Sampai saat ini Ibu bertemu denganmu. Tandanya, Damara sudah benar-benar bertekad untuk menyayangimu. Jadi, ibu memintamu untuk menyayanginya sebagaimana Damara menyayangimu."

Naya tersenyum. "Sejak awal, bertemu. Anehnya Naya selalu berprasangka baik kepada Damara walau Naya tidak tahu apa-apa tentangnya. Aneh bukan, Bu?"

Rengganis menggeleng. "Nggak aneh, Nak. Yang aneh itu Damara."

Seketika, Naya tertawa di hadapan Rengganis.

"Kalau itu aku sepakat dengan Ibu."

Lalu, keduanya tertawa sementara Damara memasang wajah kecut.

***

2016, adalah tahun yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Sepanjang perjalanannya benar-benar berharga di mana ada sepasang manusia yang sama-sama sedang mempersiapkan menghadapi kenyataan yang akan semakin dewasa ke depannya.

Pada tahun itu pula, akan terjadi sebuah perpisahan paling menyenangkan sepanjang hidupnya. Kepada semesta, laki-laki yang ke depannya akan selalu berjuang akan selalu berterima kasih kepadamu. Yang sudah terlalu bermain-main dengan ketetapannya.





















note: kalau ada ketidaksesuaian nama ibu dari damara mohon maafkan penulis yang pelupa ini. Karena part ini di tulis di dalam sebuah travel dan aku tidak dalam kondisi ternyaman untuk memeriksanya. Terima kasiiiii atas dukungannya selama ini!!

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang