7.

1K 119 3
                                    


..

Tidak ada yang menjenguknya. Ironisnya, para remaja dan beberapa Orang dewasa yang tak di kenal-lah yang menunggunya di sini.

Kepalanya di lilit perban, cukup mengganggunya jujur.

Ruangannya di rawat ini, terasa lebih nyaman ketimbang Rumah milik Chester. Yah, meskipun begitu, Yvine harus tetap pulang.

Enggan membiarkan Orang lain mencampuri urusannya.

Jadi sekarang Dia sudah berdiri di balik tubuh Remaja yang di tebaknya menolongnya.

Siapa namanya? Yvine lupa jujur.

"Archer." Sodoran tangan yang berharap di jabatnya hanya di tatapnya sekian detik.

Cukup lama menimbang waktu hingga pada akhirnya Yvine mau membalasnya.

"Yv- ... Cia." Balasnya singkat.

Archer mendekat dan berdiri di sampingnya. "Nanti kalo ada apa-apa kabarin ya?" Ujarnya mengakrabkan diri.

Itu cukup membuatnya terkesan ramah.

Dengan anggukan kepala, Yvine menyetujuinya, meskipun itu mustahil dan tidak akan Ia lakukan bahkan jika Ia sakit lagi nanti.

"Nanti kalo di sekolah butuh bantuan, cari aja Moses di kelas Y 12 I ya?"

Yvine menghela nafasnya, lagi-lagi mengangguk tanpa berucap.

"Inget ngga jalan pulang?" Yvine mengangguk.

"Ingat."

"Yaudah, nanti kasih tau Kakak aja. Biar Kakak yang kasih tau drivernya." Kata Archer.

Zefiro berdiri di belakangnya bersama Moses. Mencermati kedunya dengan tenang.

"Terima Kasih." Ucap Yvine.

Mata beningnya menatap mereka dengan tulus. Mereka pun begitu, menolong dengan tulus.

Dia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan mereka. Sejujurnya, sedari awal mereka kekeh ingin mengantarnya.

Hanya saja, Yvine tak berniat memperkenalkan Rumah Chester pada mereka. Pikirnya tidak perlu.

Yvine menatap jalanan lurus. Dia melakukannya dengan sendiri lagi. Baguslah, jadi Dia tidak akan mengantongi hutang budi dari orang lain.

Tanpa tahu fakta. Bahwa Jesse yang awalnya mengejarnya itu, telah di usir oleh Archer karna merasa tak suka dengan keberadaan Jesse di sana.

..


Lampu Rumah sudah padam. Yvine bahkan sadar mereka tidak ada yang mencarinya.

Tas yang berada di punggungnya Ia lepas dengan tangan yang menggantikannya.

Berjalan dengan tas yang di seret di lantai, Yvine membuka pintu dengan pelan tanpa di sadari para penjaga.

Tidak, bukan niatnya mengendap-endap. Dia bergerak secara terang-terangan, namun seolah tak ada yang menyadarinya.

Meski begitu, suasana dalam Rumah terlihat tenang dengan lampu tembak yang masih menyala di sertai lampu sela dinding.

"Bagus."

Suara itu menyapa dari balik punggungnya. Yvine berbalik perlahan.

Bertemu muka dengan wanita menjadi Ibu-nya.

Nova tergesa maju ke hadapannya. Yvine tak memberi reaksi lebih bahkan saat tubuhnya lagi-lagi terjatuh akibat dorongan Nova.

Siang tadi Cyrus, dan sekarang Nova. Mereka cocok.

"Abis dari mana Kamu?!" Bentaknya.

Entah karna pikirannya buruk atau penglihatannya yang gelap. Jelas-jelas, kain putih masih melintang di kepalanya. Bagaimana bisa Dia tak bertanya dulu dengan keadaannya?

Dia Menunduk dan mendorong kepala Yvine dengan telapak tangannya secara kasar hingga Yvine hampir saja kembali terjatuh.

Kini Dia bahkan masih membiarkan kakinya menopang tubuhnya untuk tak terjatuh atas tingkah kasar yang di lakukan Nova.

Nova terlihat marah, bahkan suara kasarnya menggema di telinganya. Seperti bunyi terompet yang selalu membuatnya marah.

Meski begitu, bibirnya seolah menyatu, tak dapat di buka hingga Ia tak menjawab sama sekali pertanyaan dari Nova.

"Ngomong! Bisu kamu!?" Ujarnya lagi.

Memukul bahu bawah Yvine, 11 tahun itu, bukan waktunya Dia menerima pukulan.

Entah bagaimana caranya tulang itu menerimanya. Remuk? Atau bergeser akibat kekuatan wanita berumur 30-an itu.

Tetap saja. Sudah tahu Nova marah-marah. Dia tetap dalam keadaannya yang membisu. Membiarkan kegeraman Nova makin menjadi-jadi.

Padahal, itu tidak baik untuknya.

Pukulan di tambah lagi, mendarat di dadanya. Menyesakkan nafasnya. Hingga Yvine rasanya ingin pingsan.

Tapi Nova tak puas. Di pukulnya lagi tubuhnya sampai Yvine terjatuh. Memangnya, berharap apa pada Anak 11 tahun?

Yvine pada akhirnya tumbang dengan mata yang masih terbuka, dan Nova menggantikan pukulan tangannya, dengan tendangan kakinya.

Lagi ... lagi ... lagi ... dan lagi.

Matanya sayu. Namun setitikpun air mata tak kelur hingga membuat Nova sama sekali tak merasa bersalah.

Mata bening Yvine melihat lurus ke tangga, di mana Timothy tengah berjalan pelan tanpa menghiraukan keadaanya yang sudah tak bertenaga.

..

Bangun di tempat yang sama, membuat Yvine merasakan sakit yang ketara.

Mengusap peluh keringatnya dengan perlahan, hingga saat matanya tanpa sengaja melihat lengan bawahnya. Memar biru tertinggal di sana.

Menjadi penghalang warna cantik kulit putihnya.

Yvine meraih tas dan bangkit pergi dari sana.

Mustahil tidak ada yang melihatnya tergeletak di sana. Bahkan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 6.35 di mana para penghuni seharusnya sudah memakan sarapannya.

Bunyi sendok bertentangan dengan garpu pun cukup mengganggunya. Di sentuhnya dadanya yang masih sesak.

Apa mungkin tulang rusuknya patah? Batinnya.

Tangga yang biasanya Ia lewati denfan cepat itu, terasa amat lama. Hingga Yvine berandai, apa anak tangganya di tambah?

Penglihatannya yang keruh pun, tak menghalanginya pergi ke kamar dan membasuh tubuh. Untuk segera pergi ke sekolahnya lagi.

Setidaknya, Ia tidak ingin berada di sini lama-lama. Biarkan saja mereka hidup tenang tanpa ada gangguan darinya.

Itu cukup baginya, karna bahkan. Yvine tak ingin berinteraksi dengan siapapun, termasuk batinnya sendiri.


..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang