1. Hello, Gajah
"Ini ada beberapa berkas yang harus Bapak tandatangani."
"Pagi-pagi langsung disodorin kayak gini. Kopi dulu minimal, Lin. Tambah gorengan atau roti gitu. Kamu tuh nggak berperikeatasan banget."
Kalau saja ini seminggu lalu, mungkin aku akan melongo mendengar gerutuan bos baruku ini. Tapi sekarang, setelah terbiasa—mau tak mau membiasakan—dengan sifatnya yang absurd dan jauh dari kata kejam seperti bos-bos pada umumnya, aku hanya tersenyum lebar. Bahkan mungkin kelihatan seperti menyeringai.
"Bapak lupa ya, kemarin diomelin Bu Nina karena kolesterol naik?"
Beliau mendengus. "Ya kamu tutup mulut. Beres."
"Bu Nina udah perintah saya buat kasih Bapak camilan yang nggak memicu kolesterol dan gula darah naik lho, Pak."
"Bos kamu itu saya lho, Lin, bukan Nina."
"Tapi bosnya Bapak itu Bu Nina. Jadi Bu Nina itu bos besar saya," balasku bangga.
"Halah baru ketemu sehari aja udah sok-sokan nyebut dia bos besar. Harusnya kamu itu nurut sama saya karena ketemunya duluan sama saya."
"Apalah bedanya sehari sama seminggu, Pak."
"Kamu tuh jawab terus. Malesin."
Aku mengatupkan bibir, menahan tawa. "Bapak kalau kayak gitu bikin saya ingat sama ayah saya."
"Jangan diingat doang, didoakan."
"Selalu, Pak."
"Good. Nggak usah sedih. Kamu bisa anggap saya sebagai ayah kamu."
Aku tertawa. "Ibu saya nggak mau jadi istri kedua, Pak."
"Siapa juga yang mau nikahin ibu kamu?" Beliau mendengus. "Gini-gini, saya cinta matinya cuma sama Nina."
Aku tertawa lagi. "Udah ah, Pak, silakan ditandatangani ini semua biar bisa langsung saya bagikan ke masing-masing divisi. Habis ini saya bawain teh lemon sama buah kering. Oh ya, mau biskuit promina sekalian nggak Pak?"
"Kamu kira saya bayi? Ngejek bos, kualat kamu, Berlin."
"Eh saya nggak ngejek, Pak. Walaupun buat balita, tapi biskuitnya enak dan sehat lho, Pak. Saya aja tiap hari nyemil itu."
"Sekarang kamu bawa?"
"Bawa. Mau minta?"
"Boleh."
Aku tertawa lagi. Bapak Galang Pradipta yang terhormat dan idaman karyawan kantor segala usia, meraih tumpukan berkas yang aku letakkan di atas meja. Beliau menandatanganinya satu per satu dengan santai. Tidak perlu menunggu waktu lama hingga semua berkas selesai dan kutumpuk di pelukan.
"Terima kasih, Pak. Saya keluar ya."
"Jangan lupa biskuitnya."
"Siap, Bapak Bos."
Dengan langkah cepat, aku keluar dari ruangan Pak Galang dan kembali ke mejaku di samping pintu. Kutaruh berkas di atas meja dan mengempaskan pantat berisiku di atas kursi. Bibirku menyunggingkan senyum lebar. Tugas menjadi sekretaris direktur utama di kantor pusat memang berkali-kali lipat lebih banyak daripada pekerjaanku sebagai sekretaris di kantor cabang, sebelumnya. Tapi ini tidak terlalu menjadi beban.
Sebulan lalu saat HRD di kantor cabang memberikan surat pernyataan pindah ke kantor pusat dan menjadi sekretaris direktur utama, aku sempat merasa ragu. Bagaimanapun meski sudah hampir lima tahun menjalani karir di dunia sekretaris, tapi tetap saja aku merasa belum memiliki cukup kemampuan untuk menerima itu. Tapi Bu Sesil—atasanku sebelumnya—mengatakan bahwa aku bisa. Akhirnya aku menerima dengan menguatkan tekad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Gajah by Septi Nofia Sari
RomanceRafael Fikri Pradipta: 28 tahun, aktor, penyanyi, murah senyum dan kocak, wajahnya baby face tapi ... selalu jadi sasaran empuk Berlin untuk dicakar-cakar dalam dunia khayal. Berlin Ayudia: 28 tahun, sekretaris, ramah selain pada Rafa, wajahnya cant...