.
.
"Kata siapa kalau tidak luka berarti tidak melawan?"
.
.
***
"Raesha!!"
Erika memeluk erat putrinya yang baru tiba di rumah duka.
Raesha menangis di bahu ibunya. Haya dan Elaine menatap iba. Mereka sudah mendengar dari Adli. Raesha disantroni rumahnya oleh pembunuh Ilyasa, justru saat Raesha sedang sendirian di rumah menunggu kedua anaknya pulang dari field trip di Puncak. Momennya juga pas dengan Erika yang sedang sibuk mengurusi orang tuanya yang wafat nyaris bersamaan. Itu artinya, Raesha mungkin telah diamati kegiatannya sejak lama. Sehingga penyusup itu beraksi tepat saat Raesha sedang sendirian di rumah.
"Ya Allah. Maafin Ibu, Nak. Orang bejat itu menyakiti kamu pas Ibu keluar rumah," ucap Erika sambil mengelus tulang pipi Raesha yang membiru.
Raesha menggeleng. "Gak apa-apa, Bu. Ibu memang mesti di sini. Semua sudah selesai, alhamdulillah kami baik-baik saja."
"Kamu gimana, Yunan? Pipimu berdarah! Haya! Cepat ambilkan obat luka!" titah Erika pada Haya.
Haya segera bergegas mencari kotak P3K. Dan sekalian membuat kompres air dingin, dibantu oleh Elaine.
"Aku gak apa-apa, Bu. Cuma luka kecil," kata Yunan.
"Tetap harus diobati. Cepat masuk ke kamar! Di sini masih ada tamu pelayat. Anak-anak gimana?"
Ismail terlihat ragu memperlihatkan memarnya. Erika paham bahwa bocah itu tidak nyaman membuka bajunya di ruang tengah yang meski mulai sepi, ada saja tamu pelayat yang belum pulang.
Mereka ramai-ramai masuk ke kamar. Tak lama, Haya dan Elaine bergabung.
Elaine mengobati luka di pipi Abinya. Sementara Erika mengkompres tulang pipi Raesha.
Erika meneteskan air mata. "Brengsek orang itu! Masih hidup gak sih dia?? Ibu mau balas tonjok mukanya!" ucap Erika emosi jiwa. Ibu mana yang tidak emosi kalau putrinya yang sedang hamil besar, dipukul wajahnya dan nyaris diperkosa.
"Sudah, Bu. Biarkan saja dia. Sebentar lagi dia akan diadili dengan pasal berlapis-lapis. Aku akan terkejut kalau dia tidak dipenjara seumur hidup setidaknya," kata Raesha berusaha menenangkan ibunya.
Haya membuka baju Ismail. "Ya Allah. Lengan dan betismu memar. Kasian, sayangkuu!" Haya memeluk Ismail erat. Tak tega rasanya. Keponakannya masih kecil sudah harus mengalami teror mengerikan itu di rumah sendiri.
Haya mengkompres memar di tubuh Ismail.
"Kamu ada luka gak, Ishaq?" tanya Yunan seraya mengelus kepala Ishaq.
"Gak ada luka sama sekali, Om," jawab Ishaq.
"Alhamdulillah," sahut Yunan tersenyum.
Ishaq malah terlihat sedih.
"Kenapa mukamu cemberut gitu?" tanya Yunan lagi.
"Semua orang ada lukanya, kecuali aku," Ishaq mengatakannya dengan kepala tertunduk.
"Bagus, dong, kalau kamu gak luka, Ishaq," kata Raesha yang bingung kenapa anak bungsunya ini malah kelihatan sedih karena tidak luka.
"Luka pertanda melawan. Aku gak ada lukanya. Artinya, aku gak melawan," imbuh Ishaq dengan ekspresi murung.
Semua terdiam. Tak menyangka Ishaq bisa berpikir demikian.
"Kata siapa kalau tidak luka berarti tidak melawan? Melawan bisa melalui hati dan do'a. Hati yang turut bersedih saat melihat muslim lain dizalimi, adalah termasuk luka pada hati," kata Yunan, mengusap-usap pucuk kepala Ishaq sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED 2
Tâm linhSemua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik angkatnya sendiri. Plus, Yunan jadi lebih akrab dengan Ismail dan Ishaq, kedua putra Raesha. Arisa sebagai istri Yunan, dibuat galau dengan p...