Angin malam berhembus cukup kencang, membawa dingin menyapa permukaan kulit. Namun, rasanya masihlah panas. Sama halnya dengan netra Bentala yang terus melelehkan bulir air mata. Tubuh mungil itu bergetar pelan seiring isak tangisnya yang belum meredam. Dirinya hanya mampu menatap kekasihnya yang dikuasi amarah pula kekecewaan perlahan meninggalkannya. Bentala sadar sepenuhnya ini adalah salahnya. Dialah satu-satunya yang dapat disalahkan, bukan Galang apalagi Harsa. Jika sedari awal dia bertindak seperti perkataannya pada Harsa sore lalu, hal semcam ini tak akan terjadi. Marahnya Harsa adalah bencana.
Bentala berbalik arah, menatap Galang yang wajahnya mulai membiru di beberapa titik. Terparah adalah sudut bibir kiri pemuda itu yang mengeluarkan darah. Pastilah pukulan Harsa tidak main-main, mengingat Harsa juga menguasai salah satu aliran bela diri, karate.
"Lang, Lo nggak pa-pa?" tanya Bentala. Galang yang masih terduduk di tanah lantas menggeleg pelan seraya mengulas senyum kecil, meski harus meringis sakit di akhir.
"Gue oke, La," balasnya.
Namun, meski Galang berkata seperti itu, Bentala tetaplah merasa tak enak hati. Galang terluka secara tak langsung karena dirinya. Mendapat pukulan di beberapa titik tubuhnya tentu bkanlah masalah yang sesepele itu. "Maafin Mas Asa, ya, Lang. Maafin gue juga, karena secara nggak langsung karena gue lo jadi begini," ujar Bentala.
"Its oke, La, gue nggak pa-pa."
"La, gue tinggal, Lo hati-hati pulangnya." Perhatian Bentala teralihkan oleh suara Djanaka. Pemuda yang biasanya bertingkah konyol itu, kini layaknya orang yang berbeda. Tidak ada kesan humor dalam wajahnya seperti hari-hari biasa, Djanaka yang dihadapannya itu menatap Bentala dengan wajah dinginnya. Tersirat ada amarah yang melingkupi pemuda itu, tapi sebisa mungkin dia kontrol. Sementara Arjuna, pemuda itu hanya melirik Bentala dengan tatapan tajamnya. Hal biasa bila mendapati Arjuna dengan wajah dinginnya, tapi kali ini berbeda. Arjuna dua kali lebih dingin, dan itu cukup mencekam.
Anggukan kecil Bentala berikan sebagai respons, dirinya cukup ciut karena aura dari Kembar Alvarendra tersebut. Dalam dia dia menatap motor yang dikemudikan Arjuna melaju menyusul Harsa. Perhatian Bentala kini kembali terpusat kepada Galang. Pe,uda itu tampak sesekali meringis menahan perih pada lukanya.
"Gue antar pulang, La," tawar Galang. Bentala menggeleng.
"Gue naik taksi aja," jawab Bentala.
Kali ini Galang yang menggeleng tanda tak setuju. "Gue antar pulang aja. Ini udah malam, cukup bahaya cewek pulang sendirian."
Sebenernya Bentala hendak menolak ajakan itu, bagaimanapun dia tak ingin membuat Harsa kecewa untuk kedua kalinya. Namun. kala menatap wajah Galang, rasanya Bentala tak kuasa untuk menolak. Sejujurnya dia pun takut apabila pulang menggunakan transportasi umum.
"Pulang sama gue ya?" pinta Galang. Akhirnya Bentala mengangguk. Galang tersenyum kecil. Dia meraih tangan mungil Bentala dan menutunnya menuju motornya terparkir. Bentala sama sekali tak menolak afeksi yang diberikan pemuda keturunan China-Indonesia itu, entahlah ada apa dengan gadis itu.
"Mampir apotek dulu, ya, Lang. Luka Lo harus diobati," ujar Bentala kala mereka sudah di atas motor. Mungkin ini orang beranggapan hari ini adalah hari sialnya Galang, karena mendapat bogem mentah di beberapa bagian tubuhnya. Namun, bagi pemuda itu sendiri tetap ada hikmahnya, yakni dia merasa senang karena dikhawatirkan oleh gadis yang dia cintai. Rasanya sungguh berbeda, perutnya terasa digelitik dan bibirnya tak lekang mengulas senyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Harsa [TERBIT]
Fanfiction[15+] Simponi Harsa mengalunkan melodi sendu bersajak pilu. Tentang rasa sakit yang membelenggu. Putusan takdir tak dapat berubah membuatnya diliputi resah. Akankah dia tabah? ••• Kisah ini tentang Harsa dengan segala kekecewaannya kepada permaina...