[Keesokan Harinya – Di Sekolah]
Afan duduk termenung di bangku kelas yang masih sepi. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Kantika masuk, membawa dua kotak susu kotak.
"Fan, kamu kenapa? Tumben murung," tanya Cantika sambil menyodorkan satu kotak.
Afan tersenyum tipis, "Nggak apa-apa, cuma lagi mikir aja."
Cantika duduk di sampingnya, matanya menatap Afan lekat.
"Fan, kalau ada apa-apa... kamu bisa cerita, kok."
Afan menoleh, ragu sejenak. Tapi sebelum sempat menjawab, Devi masuk ke kelas. Langkahnya terhenti sejenak saat melihat mereka berdua. Wajahnya datar, tapi matanya tak bisa menyembunyikan perasaan.
"Fan, bisa bicara sebentar?" tanya Devi datar.
Cantika melirik ke Afan, lalu ke Devi. Ada ketegangan yang menggantung di udara.
Afan berdiri. "Iya, Dev. Di luar aja, ya."
---
Di Koridor Sekolah – Agak Sepi
Devi berdiri dengan tangan menyilang di dada. Afan menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya.
"Fan, aku tahu soal pernikahan kita yang dimajukan."
Afan mengangguk pelan. "Aku juga baru dikasih tahu semalam."
"Aku... nggak minta kamu mencintai aku sepenuhnya sekarang. Tapi setidaknya, jangan bikin aku merasa kayak pilihan kedua," suara Devi bergetar. "Kamu dan Cantika... kelihatan terlalu dekat."
Afan terdiam. "Dev, aku dan Cantika cuma teman. Dia emang ekspresif orangnya."
"Tapi kamu diam aja waktu dia gandeng kamu. Kamu nggak narik tanganmu, Fan."
Kalimat itu menusuk. Afan menunduk, merasa bersalah.
"Aku bukan pengen bikin drama, Fan. Aku cuma... pengen tahu aku ini berarti atau enggak buat kamu."
Afan menarik napas panjang. "Dev, aku belum bisa jawab itu sekarang. Tapi aku janji, aku nggak akan main-main sama hubungan ini."
Devi hanya mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. Tak sadar, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
---
Di Toilet Sekolah – Beberapa Menit Kemudian
Cantika berdiri di depan kaca, mendengus kesal. Ia mendengar sedikit percakapan tadi dari balik tembok.
“Jadi Devi udah tahu… cepat juga bocornya,” gumamnya.
Matanya menajam. “Kalau gitu, aku harus gerak cepat sebelum semuanya terlambat.”
Ia mengeluarkan ponselnya, membuka galeri, lalu menatap sebuah foto: Afan dan dirinya sedang selfie di kafe beberapa minggu lalu. Senyuman di bibirnya tak sehangat biasanya—ada rencana tersembunyi di balik itu.
---
Di Rumah Afan, Tengah Malam
Afan terjaga di ranjangnya. Ponselnya menyala—ada pesan dari nomor tak dikenal.
“Kalau Devi tahu siapa kamu sebenarnya, masih mau nggak dia nikah sama kamu? Hati-hati, Fan. Rahasia nggak selamanya aman.”
Afan meneguk ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap layar ponselnya lekat-lekat. Wajah Cantika tiba-tiba terlintas dalam pikirannya.
---
Beberapa Hari Kemudian – Di Kamar AfanHujan mengguyur malam dengan derasnya. Afan duduk sendiri di meja belajarnya, menatap ponselnya yang masih menyimpan pesan misterius itu.
Ia menarik laci dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Isinya: foto-foto lama, kartu siswa SMP, dan satu surat yang sudah usang.
Tangannya gemetar saat membaca surat itu lagi. Tulisan tangan seorang gadis.
"Fan, aku pergi bukan karena benci. Tapi karena aku harus. Maaf, kalau selama ini aku jadi satu-satunya alasan kamu belajar percaya, lalu aku sendiri yang pergi. Jangan cari aku. Dan jangan berubah karena aku."
Afan menutup matanya. Ingatannya kembali ke masa SMP...
---
Flashback – Tiga Tahun Lalu
Afan remaja duduk di bangku taman sekolah bersama seorang gadis bernama Alya. Mereka tertawa bersama, saling mencoret-coret seragam usai kelulusan.
Alya adalah gadis pertama yang membuat Afan terbuka. Dia tahu sisi gelap Afan—anak tunggal yang kesepian, dibesarkan dengan standar tinggi dan tekanan dari keluarga.
Saat Ayah dan Ibunya bertengkar hampir setiap malam, Alya yang jadi pelariannya. Mereka tak pernah pacaran, tapi mereka saling tahu perasaan masing-masing.
Tapi semuanya berubah saat Alya tiba-tiba menghilang—keluarganya pindah mendadak ke luar negeri karena masalah ekonomi. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan, kecuali surat itu.
Sejak saat itu, Afan berubah. Ia jadi lebih tertutup, tapi pandai menyembunyikannya dengan senyum santai dan sikap “cuek tapi perhatian”. Sampai akhirnya dia bertemu Devi… dan perlahan mulai percaya lagi.
---
[Kembali ke Masa Sekarang – Malam yang Sama]
Afan menatap foto Alya dan dirinya di taman sekolah. Dihapusnya air mata yang nyaris jatuh.
"Harusnya aku udah move on. Tapi kenapa rasa ini belum bisa hilang sepenuhnya?"
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Video call dari... Devi.
Afan terkejut. Ia angkat, meski ragu.
"Fan, aku mau ketemu. Sekarang. Di taman dekat sekolah. Penting."
Tanpa sempat berkata apa-apa, panggilan dimatikan.
---
Taman Dekat Sekolah – Malam Hari
Afan datang dengan jaket dan hoodie. Devi sudah duduk di ayunan, basah sedikit karena hujan yang baru reda.
"Ada apa, Dev?" tanya Afan hati-hati.
Devi berdiri. Wajahnya serius.
"Aku tahu soal Alya."
Afan terdiam. Dunianya serasa membeku.
"Foto kalian berdua, surat itu... semua aku lihat di laci kamu. Aku minta maaf karena aku buka tanpa izin, tapi aku harus tahu kebenarannya."
Afan menghela napas dalam. "Dev... aku gak pernah maksud nutupin. Aku cuma gak siap cerita. Itu bagian hidupku yang... aku bahkan belum selesai hadapi."
Devi menatapnya tajam. "Terus aku ini apa, Fan? Pelarian? Pengganti?"
"Tidak!" jawab Afan cepat. "Kamu bukan pelarian. Aku beneran berusaha buka hati buat kamu. Tapi aku... aku masih berantakan, Dev."
"Aku gak minta kamu sempurna, Fan. Tapi aku gak bisa jalan ke pelaminan sama orang yang hatinya masih ada di masa lalu."
Afan mendekat. "Aku bisa belajar, Dev. Aku bisa sembuh. Tapi tolong jangan tinggalin aku."
Devi memalingkan wajahnya, air mata mengalir. "Afan... aku gak yakin. Aku butuh waktu buat mikir. Kita... mungkin butuh jarak."
Ia berjalan pergi, meninggalkan Afan yang berdiri di tengah dinginnya malam, sendiri—lagi.
----
gasyy soryy aku revisi cerita nya make chat gpt🙏🏻🙏🏻. ak masih sibuk soalnya🙏🏻🙏🏻🙏🏻
