Aku berlari secepat kemampuan yang mampu kukerahkan. Mengabaikan lolongan di belakangku yang terdengar makin nyaring. Jantung berdetak kencang, menggedor rongga dada, membuatku kesulitan bernapas. Meski begitu, aku tidak mau menyerah. Terus berlari menembus belantara. Rencana hanya satu: berusaha tetap hidup sekalipun kemungkinannya tipis.
Anjing-anjing terus menggonggong. Aku tidak sempat memikirkan cara melenyapkan jejak atau apa pun perihal keberadaan. Semua terjadi begitu cepat. Terlalu cepat. Nyaris membuatku gila seperti Ophelia kekasih Hamlet. Kegilaan liar yang membuat darah terpompa, keringat panas membasahi tubuh, dan napas memburu bagai serigala liar mengincar kelinci.
“Sialan!” pekikku, berhenti tepat di depan area hutan pohon suci.
Orang-orang dari Bulan Darah berusaha menjauhkanku dari tali keselamatan. Mereka menganggap nyawaku tidak penting! Oke, silakan saja rendahkan hargaku. Sekarang akan kubalas berkali lipat! An eye for an eye!
Di sekitarku angin malam berdesir lembut, membisikkan kutukan kepada siapa pun yang tidak hati-hati. Pohon suci, sekumpulan pohon berkulit putih yang memiliki daun berbentuk menjari yang selalu memendarkan warna emas, seolah mengundangku masuk.
Kurasakan batu darah yang tertanam dalam tulang selangkaku berdenyut. Batu seukuran mutiara itu memendarkan cahaya merah delima. Seakan batu darah milikku merespons panggilan pohon suci. Ilusi? Fantasi? Aku tidak keberatan jadi gila. Lebih baik gila, tapi masih memiliki semangat mempertahankan hidup daripada menyerah dan berakhir jadi jus tomat. Sebut aku cewek keren.
“Sheila, kembali!”
Aku tidak mau memastikan siapa pun yang berhasil menemukanku. Mereka pasti akan membujuk, menyuruhku jadi tumbal pengganti Jane. Gila apa? Ke laut sana! Aku masih punya harapan dan banyak keinginan!
Kebebasan!
Lekas kujawab panggilan kebebasan, melangkah masuk ke area pohon suci. Sekali lagi aku berlari dan masuk semakin dalam. Kucari pohon tertua dan yang paling besar. Aku membutuhkan satu pohon yang bisa membantuku merangkak keluar dari masalah.
Begitu menemukan pohon incaranku, pohon terbesar yang memiliki buah seukuran jeruk dan berwarna merah, aku pun bergegas mendekat.
Ada satu rahasia turun temurun warisan nenek moyang klan Bulan Darah. Konon setiap pohon suci sebenarnya penjelmaan dari makhluk-makhluk buas. Mereka menunggu orang yang tepat, menanti seseorang membangunkan mereka dari tidur panjang, dan membebaskan wujud mereka.
Kugigit ujung jari telunjuk, cukup keras hingga darah menetes dari luka. Aku menuliskan namaku ke permukaan pohon dan berkata, “Tolong bangun dan jawab panggilanku.”
Haha aku tahu perbuatanku sangat berisiko tinggi. Bisa saja gagal sebab tidak semua anak dari klan Bulan Darah diterima oleh makhluk-makhluk yang berdiam dalam pohon suci. Namun, aku terpaksa! Ini satu-satunya ide jenius yang bisa kucetuskan selain mencuri mobil, yang tidak bisa kukendarai, dan mengancam seseorang, yang pasti tidak akan menurutiku. Serbasalah. Persis makan buah simalakama.
“Tolong,” aku memohon, “semua orang di sini edan dan hanya kamu doang yang bisa kupercayai. Hei, ayolah. Di sini nggak enak. Apa sih yang bisa kamu lihat? Rumput? Ayo kita pergi ke kota lain. Kita bisa jadi tim keren menyaingi agen 007.”
Aku memohon kepada keajaiban doa cewek tersakiti dan teraniaya. Tolong doa yang kali ini harus manjur. Karena aku tidak berencana tinggal nama doang. Aku bahkan belum pernah pacaran. Minimal biarkan aku tahu rasanya bergandengan tangan dengan cowok!
“Sheila!”
Pengejarku, sekumpulan pria berbaju hitam, berhasil menemukanku. Anjing-anjing menyalak, memamerkan gigi, dan tinggal menunggu perintah gigit cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)
FantasyKenapa sih orang-orang tertarik isekai ke novel, film, komik, atau dimensi mana pun? Seolah pindah dunia itu semudah pindah kontrakan yang kalau tidak cocok bisa mengajukan keluhan ke empunya indekos. Berharap bisa disukai oleh semua tokoh ganteng d...