11

255 35 7
                                    

Pada akhirnya Jimin menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Jinni, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Jungkook. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, terlampau terkejut akan pengakuan tadi. Berujung dia pun menunjukkan tatapan amat kecewa pada putrinya.

Jinni menutup album foto yang baru saja dilihat ulang olehnya. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya.

"Ibu tidak menyangka sampai seburuk ini, Ji. Apa lagi menantu tidak mengatakan apa-apa tentang perbuatanmu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh putriku sendiri. Kau mengkhianatinya, siapapun prianya pasti membenci hal tersebut."

"Tapi, Bu... aku tidak mengkhianati Mas Jungkook. Aku hanya pergi berlibur dengan teman-temanku. Aku bahkan baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Bila aku tahu sejak awal, aku tidak mungkin pergi." Jimin tetap belum sepenuhnya menerima kekeliruan yang dilakukan, terlebih saat tahu suaminya betul-betul menghindari dia. Fakta demikian justru menguras habis akal ketika dia dituntut untuk memahami dahulu akar kesalahannya.

"Apakah dalam posisimu itu kau masih dibenarkan untuk beralasan? Salahmu justru makin terlihat di mata Ibu. Kau bilang tidak tahu pasti rencana teman-temanmu, tapi sangat yakin memilih bergabung dan membantah peringatan suami? Kau bilang menantu tidak mengizinkan, tapi tetap pergi." Jinni mendesah pelan, lalu menatap serius pada sorot mata putrinya. "Ibu sudah tua sekarang. Mungkin karena pengaruh usia dan Ibu melupakannya, Ibu benar-benar tidak ingat kapan terakhir kalinya dengan sengaja mengabaikan perkataan ayahmu."

"Ibu ..."

"Atau mungkin Ibu pernah mengajarkanmu untuk menentang suami? Dalam hal ini kau pasti tahu ke mana arahnya."

"Sudah kukatakan ini semua memang salahku. Ibu sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang sudah terjadi, ini murni ulahku sendiri."  Jimin menjawab dengan nada keputusasaan, pelupuknya berlinang. "Aku sangat menyesal, Ibu. Mas Jungkook sungguhan tidak mau mendengar permohonan maafku."

"Sudah berapa kali?"

"Ibu, aku tidak sejahat itu. Mana mungkin ..."

"Berapa kali kau mengecewakan menantu?! Itu yang Ibu maksud," tegas Jinni hingga putrinya terpaku di tempat. "Kalau tebakan Ibu benar, kau sering mengulanginya." Mendengar tuduhan ini, kontan membuat Jimin tak mampu berkutik. "Sebaiknya kau berhati-hati. Ibu berharap bukan karena jenuh pada perilakumu yang menyebabkan menantu pergi."

"Mas Jungkook pergi untuk bekerja, Ibu. Dia sudah memberi tahuku."

"Semoga saja begitu. Kalau menantu tiba-tiba berubah, itu semua karena dirimu sendiri, Jiji. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu." Jinni beringsut ke lemari. "Bersihkan tubuhmu, Ibu akan meminta Moya agar menyiapkan air panas," katanya sembari membuka lemari guna mengambil pakaian yang akan dikenakan Jimin.

"Ibu sedang apa?"

"Mencari baju gantimu, memangnya apa lagi?"

"Biar aku saja, Ibu," sanggah Jimin sambil mencoba turun dari tempat tidur. Namun, pergerakan Jinni lebih cepat hingga dia histeris saat mendapati kekacauan di situ.

"Astaga, Ji! Untuk apa bungkusan sebanyak ini?! Dari mana kau mendapatkan semua barang-barang ini?!" Jinni menginterogasi, tanpa sadar meninggikan intonasi bicaranya saking terkejut mendapati puluhan kotak serta paper bag yang menumpuk di sana.

"Aku membelinya, Ibu." Jimin menunduk lesu, sungkan untuk menatap ibunya.

"Kau membeli barang-barang yang tidak kau butuhkan? Apa yang diberikan oleh suamimu masih kurang, Nak? Ya Tuhan, usiaku! Lalu, akan diapakan semua sampah-sampah ini?" Jinni menggeleng-geleng pasrah di depan putrinya, tidak mengira bahwa kelalaian Jimin sudah pada tahap mengkhawatirkan.

"Bukan begitu," suara Jimin terdengar lirih. "Itu barang-barang yang sedang tren di kalangan atas, Bu. Jadi, aku membelinya karena tidak ingin kehabisan." Jimin nyaris bergumam saat mengucapkan dalihnya.

"Sejak kapan orang membeli barang karena golongan? Bukan karena kebutuhan? Ibu sungguh tidak menyangka kalau putri Ibu bisa segini naif  sekarang." Jinni menghela napas ringan saat tungkainya kembali menghampiri Jimin. Dia duduk di tepi ranjang. "Ibu masih ingat perkataan menantu beberapa tahun lalu ketika dia dan kedua orang tuanya berkunjung untuk melamarmu. Dia menyukai sikapmu. Sederhana dan lembut, itu yang menantu katakan. Sedari awal perjumpaan kalian, dia langsung membatalkan janji temunya kepada keluarga gadis lain. Ibu dan ayah juga tidak bisa berbohong. Kami menyukainya bahkan di hari pertama melihatnya. Oleh karena itu Ibu dan ayah menyetujui semua rencana menantu untuk mempercepat persiapan pernikahan kalian." Mungkin usai mendengar sejarah pertemuan mereka, putrinya lebih bisa berpikir terbuka dan bijak.

Sementara, Jimin tertunduk menyesal. Lambat laun bulir air mata yang semula sekadar menggenang jatuh perlahan ke pipinya. Tak ayal momen itu menimbulkan rasa iba bagi Jinni, "Sudah menyadari kesalahanmu? Apa cintamu pada menantu sudah berkurang?"

Pertanyaan itu telak menampar sekaligus menyakitkan di sanubari. Jimin refleks mendongak dengan wajah berkerut heran, "Kenapa Ibu tega berkata seperti itu?!"

Continue ...

Dek Jiji & Mas JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang