Hari Berikutnya - Di Sekolah
Suasana kelas pagi itu lebih dingin dari biasanya. Afan duduk di pojok bangku kelas, menatap kosong ke papan tulis. Devi masuk, tapi tak menyapanya. Hanya tatapan sekilas-tanpa senyum, tanpa kata.
Cantika melihat itu. Senyum tipis muncul di wajahnya.
Ia pun mendekati Afan dengan gaya akrab.
"Fan, kamu kelihatan capek. Masih kepikiran soal semalam ya?" tanyanya lembut.
Afan hanya mengangguk kecil.
Cantika mengeluarkan sebuah kertas dari saku jaketnya. "Aku nemu ini waktu kamu lupa bawa buku di perpustakaan kemarin," katanya sambil menyerahkan foto lama Alya dan Afan.
Afan langsung tegang. "Kamu... dari mana kamu dapet ini?"
Cantika menatap tajam. "Fan, aku bukan orang bodoh. Aku tahu kamu masih belum lepas dari masa lalu. Tapi kamu juga harus tahu... Devi gak sekuat itu buat nunggu kamu sembuh sendiri."
Afan berdiri. "Apa maksudmu?"
Cantika menyentuh lengannya perlahan. "Maksudku... mungkin yang kamu butuh bukan orang yang minta kamu sembuh dulu, tapi orang yang bisa nemenin kamu walau kamu masih luka."
Afan menarik tangannya. "Cantika... tolong jangan campur urusan ini."
Cantika tersenyum pahit. "Terlambat, Fan. Aku udah keburu sayang."
---
[Siang Hari - Di Kantin Sekolah]
Devi duduk sendiri di meja pojok, memainkan sedotan minumnya tanpa semangat. Vio datang menghampiri.
"Dev, kamu oke?"
Devi menggeleng. "Aku bingung, Vio. Aku tahu masa lalu Afan itu luka. Tapi kenapa aku jadi merasa... kayak aku yang salah?"
Vio menatap Devi penuh empati. "Kamu gak salah. Tapi kamu juga berhak tahu semua, Dev. Termasuk... soal Cantika."
"Maksud kamu?"
Vio ragu sejenak. "Aku lihat dia sama Afan pagi tadi. Deket banget. Kayak... lebih dari sekadar teman."
Devi terdiam. Tiba-tiba semuanya terasa semakin kacau.
---
[Malam Hari - Rumah Devi]
Devi duduk di depan laptop, membuka folder lamanya. Ia mencari-cari... sesuatu. Hingga akhirnya ia membuka satu foto grup angkatan SMP.
Wajahnya membeku.
Di barisan belakang, ada Afan remaja... dan di sampingnya, Alya. Tapi yang membuatnya terdiam lebih lama: wajah Alya... mirip sekali dengan Cantika.
Devi membesarkan gambar. Jantungnya berdegup lebih kencang.
"Jangan-jangan..."
---
[Akhir Bab Ini - Keesokan Harinya, Di Taman Belakang Sekolah]
Devi menunggu di taman belakang, lalu memanggil Cantika yang kebetulan lewat.
"Cantika. Kita harus bicara."
Cantika menoleh. "Wah, serius banget. Oke, mau ngomongin apa?"
"Alya itu... kakak kamu, kan?"
Wajah Cantika langsung berubah. Sekilas terkejut, tapi cepat ditutupi dengan senyum dingin.
"Wah, kamu pinter juga ya. Tapi sayang... kamu tahu terlalu telat."
---
Taman Belakang SekolahCantika menatap Devi tajam. Wajahnya tak lagi tersenyum seperti biasanya.
"Jadi... kamu udah tahu," katanya pelan.
"Kenapa kamu sembunyikan? Kenapa kamu deketin Afan?" suara Devi bergetar.
Cantika mendesah pelan. "Alya itu kakakku. Satu-satunya orang yang pernah bisa buat Afan bahagia... dan juga satu-satunya orang yang pulang dengan luka."
"Maksud kamu apa?"
Cantika menatap langit sebentar, lalu menatap mata Devi lurus.
"Kamu pikir Afan itu korban? Kamu gak tahu apa yang dia lakuin ke kakakku waktu itu."
Devi terdiam. Napasnya mulai tak teratur.
"Setelah Alya pindah, dia sempat balik ke Indonesia sebentar. Ketemu Afan diam-diam. Waktu itu, dia mau kasih penjelasan... tapi Afan malah nyalahin dia, nuduh dia pergi ninggalin tanpa peduli. Kakakku pulang dengan hati hancur."
"Cantika..." suara Devi mulai ragu.
"Alya gak kuat. Dia sempat dirawat karena depresi. Setelah itu, dia gak pernah mau ngomong soal Afan lagi," Cantika melanjutkan, matanya mulai berkaca-kaca.
"Makanya kamu deketin Afan?" tanya Devi lirih.
"Aku cuma mau Afan ngerasain sedikit aja dari sakit yang kakakku rasain. Tapi... aku juga jatuh cinta, Dev. Itu bagian dari rencana yang gak pernah aku sangka."
---
Di Rumah Afan - Malam Hari
Afan duduk di depan kaca, mencoba menghubungi Devi tapi tak diangkat. Ia memandangi bayangannya, lalu berkata pada dirinya sendiri.
"Alya... aku gak pernah benci kamu. Aku cuma marah karena kamu gak percaya padaku. Tapi ternyata... aku juga yang gagal paham."
Ponselnya berbunyi. Kali ini pesan dari Devi.
"Besok, kita ketemu di taman tempat kita pertama kali ngobrol. Aku harus tahu semuanya, langsung dari kamu."
---
Keesokan Harinya - Di Taman Pertama Mereka Bertemu
Devi duduk menunggu. Afan datang, wajahnya lelah, tapi tekadnya kuat.
"Aku tahu kamu udah tahu soal Alya," kata Afan langsung.
Devi mengangguk. "Dan soal Cantika. Dan semuanya."
Afan menunduk. "Aku gak sempurna, Dev. Masa laluku berantakan. Tapi satu hal yang aku yakin... perasaanku ke kamu sekarang itu nyata. Aku mau sembuh, bukan buat Alya, tapi buat kita."
Devi menatap Afan lama. "Tapi kamu juga harus tahu, Fan... luka kamu bukan cuma milikmu sendiri. Sekarang, aku juga kena dampaknya."
Afan menggenggam tangannya. "Kasih aku kesempatan. Satu kali lagi. Bukan buat nutup masa lalu, tapi buat buka masa depan yang baru."
Devi menarik napas panjang. Lalu melepaskan genggamannya perlahan.
"Aku... butuh waktu, Fan. Kita harus pisah sebentar. Kalau nanti kita saling nyari lagi... mungkin kita emang ditakdirin bareng."
---
Scene Penutup Bab Ini - Di Atas Motor Cantika, Sendirian
Cantika memandangi langit senja. Di tangannya, sebuah foto robek-foto Afan dan Alya.
"Maaf, Kak... aku gak bisa ngebenci dia sepenuhnya. Tapi aku juga gak bisa sepenuhnya maafin."
Angin senja berhembus pelan. Wajah Cantika penuh luka... tapi untuk pertama kalinya, jujur.
---
