Chapter Eleven: The King - 1

324 47 3
                                    

Beberapa detik setelah suara pintu tertutup, dengusan keras terdengar. "Sebenarnya aku malas sekali keluar hari ini. Apalagi kalau kelas pagi." Pemuda itu menguap, "tapi aku tidak boleh melewatkan kelas ini. Aku tidak mau mengulang."

Seseorang mengikuti langkahnya, "kau kan memang bodoh. Kalau sering bolos, setidaknya pandai. Kalau dua-duanya kau tidak mampu, ya ... aku tak bisa berkata apa-apa," sahut gadis itu seraya menjatuhkan dirinya ke sofa.

"Aku mandi dulu."

"Iya."

Si pemuda kemudian memilih masuk ke kamar.

"Jangan tidur lagi!" teriak si gadis ke arah kawannya.

Apartemen itu sepi di pagi hari ini. Si gadis mempernyaman dirinya sendiri dengan meluruskan kaki memenuhi sofa. Sambil memainkan ponsel, dia bersantai. Kelasnya tidak akan dimulai dalam satu jam. Selagi menunggu sang kawan bersiap, dia bisa tidur lagi. Semalam mereka berpesta sampai larut dan berakhir kurang tidur. Entah kemana kawan-kawannya yang lain. Saat pulang, dia hanya berdua saja.

Padahal kantuk menyerang tetapi rasa lapar tidak bisa dibendung. Dia mengingat bahwa semalam seseorang berencana memasak sesuatu untuk si pemilik apartemen yang sedang sakit. Walaupun dia juga tahu kalau terjadi sesuatu semalam, dia tetap akan mencoba mencari makanan ke dapur.

"Kapan kau datang, Gi?"

Dari balik punggungnya, seseorang keluar dari kamar. Choi Bomin, dia yang terlihat jelas baru saja selesai mandi. Pemuda itu hanya menggunakan celana pendek, gadis itu tahu pakaian itu bukan miliknya dan keluar sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk.

"Baru saja," jawab gadis itu kemudian memperbaiki posisinya. "How's last night?"

Pertanyaan yang diajukannya membuat si lawan bicara menarik senyum yang lebar. Masih dengan kegiatan mengeringkan rambut, pemuda itu menyeringai. "Fun," balasnya jahil. "Andai kau bisa melihatnya."

"Menjijikkan," sahut gadis itu.

Si pemuda rambut basah itu tertawa riang bahkan dengan respons yang tak baik.

"Kau sudah sarapan?"

Perut lapar tak bisa didustakan. Meski berlagak tak peduli, nyatanya telinga gadis itu mengembang saat mendengar ajakan makan.

"My girlfriend makes something for us."

Kalimat pemuda itu biasa saja, namun dia tertawa. "Your ... girlfriend?" Dia menggelengkan kepala tak heran, seakan-akan sudah terbiasa dengan kabar itu. "Finally?"

"I told you our night was fun."

"Dasar fuck boy."

Ejekan itu tak berarti bagi si pemuda. Dia tak terlalu memikirkannya, karena memang, dalam hati dia mengakui itu.

Mereka berdua secara alami bergerak menuju dapur akibat rasa lapar. Karena sudah diajak, si gadis tak malu mengekor untuk mendapat makanan. Hidungnya mengembang saat dekat dengan pintu dapur. Dia menjadi bersemangat.

"Kurasa yang ini cukup berguna, ya?"

Pemuda itu meringis, "satu bulan mungkin tidak cukup."

"Oh, kau berencana untuk tobat? Aku rasa hal itu tidak mung--"

Kalimat terputus begitu pula langkah saat mereka sampai di ambang pintu. Mata disajikan pemandangan yang mengejutkan, bahkan membekukan kesadaran selama beberapa saat. Si pemuda lebih dulu sadar, seketika terkekeh saat mendapati apa yang dia lihat sekarang. Sementara si gadis kelaparan itu kehabisan kata-kata.

THE GAMBLER 2: Big League🔞 | TXT & EN-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang