VIII. Makan malam

14 3 3
                                    

"Turun."

Satu kata tersebut berhasil membuat Arin mengerutkan dahi. Bukan karena tidak mengerti, tapi nada suara Kava saat mengatakannya membuat Arin sedikit heran. Ada sedikit kemarahan dalam suara rendah cowok itu.

Namun Arin sama sekali tidak ingin mengambil pusing. Dia membuka sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. Menyusul Kava yang berjalan lebih dulu menuju pintu utama rumah besar yang mereka singgahi.

"Buruan, lelet."

"Sabar, sepatunya bikin gak nyaman," sahut Arin sedikit jengkel.

Kava hanya berdecak malas. Cowok itu langsung menyambar tangan Arin ketika gadis itu sudah berada di sampingnya. Kava sedikit menunduk. "Gue ingetin lagi, lo cuma perlu bilang 'iya' untuk semua pertanyaan dan pernyataan yang gue bilang nanti. Dan bilang ke orang tua gue kalo kita kenal karena acara kampus."

"Iya."

Kava menatap gadis pendek di sampingnya beberapa detik, kemudian membuka pintu dan menarik Arin untuk masuk.

Suasana yang tersaji ketika dirinya memasuki rumah membuat Arin berdecak kagum. Interior mewah dan perabotan yang ditata rapi benar-benar memanjakan mata gadis anggota club teater tersebut. Apalagi ketika matanya menangkap sebuah lukisan abstrak yang ditempel di salah satu dinding. Arin tidak bisa untuk tidak berdecak kagum.

"Kava? Mama seneng banget kamu ke sini."

Suara lembut wanita yang menyapa Kava membuat Arin mengalihkan pandangan. Maniknya menatap pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik yang berjalan menghampiri mereka.

"Sama pacar kamu juga?" Wanita tersebut tersenyum lembut saat menatap Arin. Yang mana hal itu membuat Arin ikut melemparkan senyum simpul sebagai tanda perkenalan.

"Nama kamu siapa?" tanyanya sambil mengusap punggung tangan Arin.

"Arin, Tante."

"Halo Arin. Mama, mamanya Kava."

"Iya, halo juga Tante."

"Panggil Mama aja, gak papa." Arin tampak ragu, dan seolah mengetahui kegelisahan gadis itu, wanita yang mengaku ibu dari Kava tersebut tersenyum geli. "Atau panggil Mama July aja kalo kamu masih canggung."

"Iya, Mama July."

July terkekeh. Wanita itu lalu menatap Kava. "Kava, papanya masih mandi. Kita tunggu di meja makan aja, ya."

"Terserah," kata Kava cuek. Cowok itu langsung melenggang meninggalkan Arin dan July yang menampilkan ekspresi berbeda karena tindakan Kava.

July tampak tersenyum sendu, namun tidak lama wanita itu kembali menatap Arin dengan sorot hangat. "Kita juga ke meja makan, yuk. Kamu belum makan, kan, Arin?"

Arin menggeleng kecil. "Belum, Mama July."

"Mama aja biar gak ribet."

Arin hanya mengangguk canggung. Dia membiarkan tangannya ditarik lembut oleh July menuju ruangan tempat meja makan berada. Di sana sudah ada Kava yang duduk di salah satu kursi seraya memainkan ponsel. Sementara di atas meja besar tersebut terdapat beberapa hidangan dan piring yang disusun rapi di depan setiap kursi yang tersedia.

"Ayo, Arin, duduk di sini."

Arin mengangguk mengerti. Kemudian duduk di kursi yang bersebelahan dengan July. Matanya sempat beradu tatap dengan Kava. Namun segera Arin putuskan ketika dirinya merasa tidak nyaman. Entah kenapa aura cowok itu lebih menyeramkan dari biasanya.

"Arin ada punya alergi makanan tertentu?"

Arin menggeleng kecil. "Gak ada, Mama."

"Berarti bisa makan kepiting, ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang