Di mata Noah, lebih dari siapapun Galland itu berbeda. Bukan karena mereka sudah bersama sejak kecil. Justru karena perbedaan Gallandlah yang membuat Noah mampu bersama dengannya setelah sekian lama.
Noah tumbuh di bawah pengaruh dari kedua orang tuanya. Pandangan Noah pada dunia hanya berpusat pada betapa mengerikannya ayah dan ibunya itu. Bertemu dan mengenal Galland dan keluarganya adalah sebuah anugerah bagi Noah sehingga dia dapat melihat dunia dengan pandangan lain. Dan juga menjadikan Galland dunianya.
Tatapan yang membenci kekalahan dan penuh kekecewaan, lalu saling menyalahkan. Noah selalu berdiri di antara kedua emosi itu. Jangan salahkan Noah mengapa dia menjadi sangat membenci kedua orang tuanya dan segala hal yang menyerupai mereka.
"Woah!"
Noah yang tengah menerawang langit-langit langsung beralih menatap Galland yang sedang menelungkup di lantai kamarnya. Mata laki-laki itu berfokus pada rekaman pertandingan badminton final tingkat provinsi miliknya beberapa minggu lalu.
"Bisa nukik gitu, loh, anjir! Itu tuh keren banget!" Galland berdecak kagum.
Noah berguling di atas tempat tidur Galland. Kepalanya mencuat di sisi tempat tidur, tepat di atas kepala Galland.
"Mau lo ulang-ulang sampai kapan?" Noah berceletuk.
Bersikap tidak terkejut, Galland memutar tubuhnya menghadap langit-langit yang membuat matanya langsung mengarah pada mata Noah.
"Lagian 'ntu orang keren banget, sumpah! Gue bangga, sih, pernah tanding ngelawan doi," celetuk Galland riang, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
Noah tersenyum kecil. Inilah yang menjadikan Galland berbeda dari orang lain yang Noah kenali. Semua orang mengakui bahwa kemampuan Galland berada di atas rata-rata orang pada umumnya di bidang olahraga. Namun, ketika laki-laki itu mengalami kegagalan, dia tidak segan untuk mengakuinya. Galland tetap tersenyum dan tidak segan untuk mengagumi lawannya.
Karena itulah manusia. Masih ada langit di atas langit. Seseorang tidak bisa untuk terus berada di atas.
Galland sangat berbeda dari semua orang yang ada di sekitar Noah. Tatapan mata yang penuh dengan kekecewaan dan ketidakpuasan dari kedua orang tuanya setiap kali mereka berkumpul di meja makan ataupun pandangan kebencian akan kekalahan, Galland tidak memiliki itu semua.
"SMA Buana Pratama itu nerima beasiswa prestasi juga, deh," celetuk Galland.
Alis Noah terangkat. "Lo mau ke sana?"
Tidak menjawab dengan jelas, Galland hanya menaik turunkan pundaknya. "Kakak kenalan gue dari gedung olahraga kota SMA di sana." Tiba-tiba Galland bangkit dari tidurnya. "Terus tim futsal mereka tuh keren banget, No! Sumpah!"
Noah terkekeh kecil. "Ujian dulu baru masuk SMA."
Dengusan kesal terdengar dari Galland. "Enggak semangat gue sekolah, njir. Gegara enggak maju ke nasional, masa gue kudu bayar 25% uang sekolah. Apa gue pindah aja, ya?"
Tangan Noah secara otomatis melayang ke belakang kepala Galland. "Enak banget lo ngomong gitu! Lagian lo emang anak beasiswa, gimana sih?"
Menerima pukulan dari Noah, bukannya kesal, Galland justru menyengir. "Ngerti gue!"
Galland merangkak, menyambar tas punggung yang berada di ujung kaki kasurnya. "Gue latihan dulu. Kalo lo mau keluar beresin dulu tuh kasur!"
Tanpa berpamitan lebih, Galland melangkah kakinya dengan cepat dan meninggalkan Noah yang terlentang di tempat tidurnya dengan kedua tangan menyilang di belakang kepala. Memperhatikan setiap pergerakan yang dilakukan Galland, sebelum laki-laki itu benar-benar menghilang dari pandangan Noah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncovered Feeling [BxB]
Novela Juvenil"Sumpah, gue belum mau mati. Gue masih muda, belum pernah ciuman, belum nikahin cewe gue. Please, Tuhan. Jangan ambil nyawa gue sekarang!"