Suasana sekolah sudah sepi. Mungkin hanya terhitung jari siswa yang masih ada di sekolah. Mungkin siswa dari luar yang memang tidak ada kegiatan lagi selain sekolah. Kalau yang mondok pasti ada jadwal mengaji siang ini.
Aku dan teman-temanku mampir dulu ke kantin karena ajakan Hilda. Mumpung dia juga yang akan traktir, jadi aku tidak menolak. Padahal aslinya badan ini ingin segera rebahan. Kami hanya 4 orang karena Indah dan Huda tidak hadir. Farhan yang biasanya langsung pulang kini ikut bersama kami. Katanya mumpung di traktir.
"Kak Senja tunggu!" Seseorang memanggilku ketika kami berjalan menuju ke kantin.
Tak hanya aku, tiga temanku juga melirik ke arah Harun dan dua temannya. Ya, Harun yang memanggilku. Ternyata dia dan dua temannya belum pulang.
"Kalian duluan aja," kataku pada ketiga temanku.
"Kamu mau pesen apa? Biar kita pesenin," ucap Nadia.
"Nanti aja nyusul,"
"Oh, ya udah. Ayo!" Mereka berjalan duluan ke kantin. Sementara aku bersama tiga siswa yang ternyata belum pulang.
"Kalian kenapa belum pulang?" tanyaku.
"Ini si Harun mau ngomong sebentar katanya," jawab Arfan.
"Mau ngomong apa?" Aku melirik Harun yang terlihat diam saja. Kemudian ia berbisik pada dua temannya.
"Oke, kita nunggu di belakang ya, Run. Ayo buruan!" Arfan menarik lengan Ivan dan meninggalkanku dengan Harun.
"Harus banget ngomong berdua gini? Emang gak masalah?" tanyaku ragu.
"Ini masalahnya privasi. Kita ngomong di sana aja." Harun mengajakku duduk di pinggir lapangan.
"Ada apa sih? Masalah tadi itu? Aku kan udah minta maaf. Aku juga gak minta kamu buat belain aku,"
"Siapa juga yang belain, Kakak? Geer banget," cibir Harun.
"Terus tadi itu apa? Kenapa kamu ikut campur urusan orang?"
Harun menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Dia terlihat bingung harus mengatakan apa. Aku sendiri di buat bingung oleh siswa menyebalkan itu. Rasa kesalku pada Harun juga belum hilang, karena dia membuat keributan di kelas tadi.
Harun menghela napas berat. "Kakak kenapa gak balikan lagi sama Zaidan? Kalau sama laki-laki tadi, aku kayak gak yakin gitu."
"Astaga, Harun! Kamu tuh gak penting banget ya ngomongin ini. Aku sama dia itu gak ada hubungan apa-apa. Dan aku juga gak ada niat buat deketin Zaidan lagi. Udah deh kamu tuh jangan ikut campur terus sama urusan aku," omelku.
"Aku itu cuma -- "
"Apa? Udah ah sana pulang! Jangan bikin aku tambah kesel deh." Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Harun.
***
Jadwal mengaji siang ini masih setengah jam lagi. Setelah shalat dzuhur, Harun memutuskan untuk diam saja di masjid. Dia malas untuk kembali ke kamar asramanya. Saking larutnya dalam lamunan, ia tak sadar akan kehadiran dua teman absurdnya.
"Woy!"
"Astagfirullahal'adzim! Allahu akbar!"
"Ngelamunin apa sih? Khusyu amat," tanya Arfan kepo.
"Tangannya aja pegang nadzom, tapi mata malah lurus aja." Ivan melihat nadzom alfiyah yang sedang dipegang Harun.
"Emang kalau ngehafal harus terus liat ke nadzom? Enggak kan?" Harun berkilah.
"Iya juga sih. Cara menghafal orang kan beda-beda," ucap Ivan.
"Nah, itu tau. Jadi aku bukan ngelamun. Aku kalau ngafalin ya gini. Keliatan kayak orang yang ngelamun,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Bersamamu
Teen Fiction⚠️Wajib follow sebelum baca ⚠️ Jangan lupa tinggalkan jejak, minimal vote *** "Senja selalu membuatku terus menyukainya. Karena dia selalu memberiku kehangatan dan ketenangan di saat dunia memberiku banyak masalah." -Harun. "Jika aku bukan senja yan...