Akira mempunyai ayah yang membencinya sejak kecil karena fisiknya lemah dan mudah sakit. Tak hanya itu, Akira juga dituntut untuk selalu pintar.
Namun itu hanya mimpi saja karena semua yang dia lakukan untuk mendapatkan pujian dari ayahnya selama ini sia-sia belaka.
Dan ya.. Kini dia merasakan darah mengalir dan pusing di kepalanya akibat pukulan ayahnya.
"Dasar bodoh, pelajaran ini sangat mudah dan kamu tidak bisa melakukannya?"
"Maaf... Aku hanya mendapat nilai 99 pada ujian kali ini... Tapi guruku bilang aku mendapat nilai tertinggi di kelas.." jawab Akira sambil menunduk karena takut dengan ayahnya. Akira hanya seorang anak laki-laki yang baru berusia 9 tahun dan masih membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya.
Ayahnya menampar wajah akira tanpa mempertimbangkan kata-katanya, lalu menegur akira dengan suara rendah.
"Kamu masih berani mengatakan pencapaianmu, kamu bahkan belum mendekati 100! Bukankah sudah kubilang 100 berarti segalanya. Tidak masuk akal jika anak tak berguna sepertimu menjadi pintar. Aku sangat kecewa padamu !"
"...." Akira hanya terdiam dan menahan tangisnya.
Ayahnya tiba-tiba berhenti bicara dan melihat memar di wajah akira dengan ekspresi puas.
"Ahhh, rasa sakit di wajahmu lumayan, Jika kamu berani gagal dalam ujian berikutnya, pertimbangkan saja dirimu mati!"
"....."
Ayahnya melihat akira mengangguk patuh, dia merasa telah memenangkan pertarungan.
"Hmph! Sekarang kamu berperilaku baik dan belajarlah dengan giat, kalau tidak aku tidak akan ragu untuk memukulmu lagi."
Dia memperingatkan akira sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkannya sendirian dengan memar di wajahnya.
*Keesokan harinya*
"Ayah, aku berangkat..." Ucap Akira berpamitan untuk berangkat ke sekolah, meski ia tahu bahwa ayahnya pasti tidak akan menghiraukan Akira dan hanya fokus kepada pekerjaannya, dengan ekspresi sedih Akira berjalan keluar rumah dan menuju sekolahnya.
Akira berjalan ke sekolah sambil berusaha menutupi memar di wajahnya.
Beberapa orang asing di jalan menghampiri untuk mengungkapkan kekhawatirannya, tetapi Akira terus berjalan tanpa henti.
Tekad untuk sukses dan membuktikan nilai di hadapan ayahnya tidak tergoyahkan. Akira pasti akan memenuhi harapannya dengan mendapat nilai 100 pada ujian berikutnya.
Air mata diam-diam mengalir di pipinya saat ia mengingat bagaimana ayahnya selalu memperlakukan dia sebagai alat yang harus selalu mendapatkan nilai sempurna, bukan sebagai ayah yang penuh kasih dan penyayang.
Tapi Akira tetap tersenyum dan terus berjalan ke sekolah.
"Tidak apa-apa, suatu saat aku pasti akan membuatnya bangga padaku!"
Ia mengatakan pada diri sendiri untuk tetap positif meskipun ada rasa sakit di hatinya.
Di sekolah Akira termasuk siswa pintar namun ia tidak memiliki teman karena dia selalu menyendiri, ia hanya belajar dan membaca buku setiap harinya, oleh karena itu teman-temannya menganggapnya sebagai anak aneh dan tidak ingin bermain dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akira (One Shot)
Short Storyakira mempunyai ayah yang membencinya sejak kecil karena fisiknya lemah dan mudah sakit. Tak hanya itu, Akira juga dituntut untuk selalu pintar. Namun itu hanya mimpi saja karena semua yang dia lakukan untuk mendapatkan pujian dari ayahnya selama in...