01. Hanya mimpi

10 0 0
                                    

Perhatian!
Cerita ini murni hasil karangan sendiri, mohon maaf jika ada nama tokoh atau alur yang serupa, karena itu atas ketidak sengajaan.

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Langkah kaki yang sempoyongan, tangan kecil anak itu terus menutupi bibirnya agar suara isak tangisnya tidak terdengar, sesekali dia berucap untuk menguatkan dirinya sendiri.

"Tidak boleh menangis, Ayah tidak suka anak cengeng." ucapnya sambil membuka sebuah lemari kayu.

Suara decitan pintu lemari terdengar, anak itu langsung masuk kedalam dan menutup lemarinya, dia meringkuk memeluk tubuh kecilnya ketakutan. Bibir kecil yang sedari tadi dia tahan untuk tidak mengeluarkan suara tangis, kini terisak dengan cukup keras.

"Mamah... Tolong, Ghava dipukul Ayah lagi Mah." ucapnya lirih didalam lemari sempit yang gelap.

Ghava anak kecil yang masih berusia 8 tahun itu menyentuh tangan kanannya yang terdapat memar, dia mendekatkan tangannya kearah bibir, kemudian meniupnya secara perlahan.

"Ini sakit Mah." ucap Ghava sambil menjukan luka memarnya, seolah sedang mengadu.

Bibirnya yang bergetar terus berceloteh, padahal didalam lemari itu hanya dia sendiri, tetapi anak itu terus mengadu seolah sedang berbicara dengan seseorang.

"Ghava tadi tidak sengaja menjatuhkan piling saat makan belsama Ayah, Ayah malah sama Ghava, Ayah jewel telinga Ghava, tapi kalena Ghava kaget, Ghava jadi nangis di depan Ayah," Ghava terisak, jari jemarinya dengan lembut mengelus sebuah bingkai foto, Ghava kemudian melanjutkan ceritanya.

"Aku lupa kalau Ayah tidak suka melihat aku menangis, jadi Ayah pukul tangan aku sampai memal." ucap Ghava dengan aksen cadelnya.

Ghava mengelap pipinya dengan baju, suara Isak tangisnya perlahan tidak terdengar, matanya yang bengkak karena menangis dengan perlahan tertutup. Dia tidur dengan bingkai foto dipelukannya.

Rupanya anak itu berceloteh dengan bingkai foto, dia mengadu kepada benda mati, yang jangankan memberi pelukan untuk menenangkan tangisnya, untuk sekedar menghapus air matanya saja tidak bisa. Tapi jika tidak dengan bingkai foto itu, dengan siapa lagi Ghava harus mengadu?

「 ✦ stay with me✦ 」

Suara nafas yang tidak beraturan terdengar jelas ditengah malam yang sunyi, tanganya kemudian mengambil handphone untuk menghubungi seseorang. Matanya bergerak gelisah sembari menggigit kuku.

"Gw mohon, angkat Shaza." batinnya resah.

"Halo, ada apa Ghava?" ucap seseorang di telepon.

Ghava menghela nafas lega, dia kemudian berhenti menggigit kukunya.

"Shaza, tadi gue mimpi buruk lagi." curhat Ghava kepada Shazaya.

Suara helaan nafas terdengar dari telepon, gadis itu menjauhkan handphone dari telinganya, dia menyipitkan matanya silau karena cahaya handphone, matanya kemudian melihat kearah angka jam yang ada di handphonenya. Pukul 01.05 sesudah melihat jamnya, Shaza kembali menempelkan handphone ke telinganya.

"Tarik nafas lo sekarang dan buang secara perlahan," titah gadis itu kepada Ghava, yang dimana langsung dilakukan oleh Ghava.

"Sudah tenang?" tanyanya memastikan.

"Iya sudah." jawab Ghava sambil merebahkan tubuhnya.

"Nah sekarang kalau sudah tenang, boleh cerita, ada apa?" tanya Shaza.

"Mimpi yang sama lagi." jawab Ghava seadanya.

Shazaya sudah tahu apa mimpi yang dimaksud Ghava, tentu saja saat Ghava sulit tidur atau terbangun karena mimpi buruknya, Ghava akan langsung menghubungi Shaza untuk bercerita.

"Maaf Shaza, gue jadi gangguin tidur lo." ucap Ghava merasa bersalah saat dia mendengar suara serak khas bangun tidur Shaza.

"Gw juga minta maaf." ucap Shaza yang membuat Ghava mengerutkan alisnya, bingung.

"Minta maaf kenapa?"

"Maaf karena disaat lo ketakutan seperti ini, gue gak bisa ada tepat disamping lo untuk merangkul tubuh lo." ucap Shaza sambil membenarkan posisi rebahannya.

Ghava yang mendengarnya tersenyum geli, "Shaza... Asal lo tau, mendengar suara lo dari sebrang telepon saja, itu sudah cukup buat gue tenang."

Shaza menyimpan handphonenya di samping, dia kemudian membawa bantal yang dia tiduri untuk menutupi wajahnya. Itu adalah salah satu kebiasaan Shaza saat sedang malu, Shaza akan menutupi wajahnya.

"Shazaya Laeruna," panggil Ghava namun tidak digubris oleh sang gadis.

"Ale, lo udah tidur ya?" tanya Ghava memastikan.

"Hah, belum." jawab Shaza sambil melepaskan bantal diwajahnya.

Panggilan itu, "Ale" entah kenapa Shaza menyukainya, panggilan yang Ghava khusus kan untuk Shaza. Panggilan Ale tercipta dari nama Laeruna, Ghava mengambil 3 huruf nama depannya, Ghava bilang nama Shazaya Laeruna terlalu ribet untuk diucapkan, jadi dia bikin yang agak simple dan enak untuk diucapkan di lidahnya.

Tapi Ghava tidak selalu memanggil Shaza dengan sebutan Ale, biasanya Ghava hanya memanggil nama Ale saat Shaza harus dibujuk.

Mata yang berat karena mengantuk kini membulat sempurna dengan penuh semangat, bibir yang tadi selalu menguap kini berceloteh tidak jelas dengan seorang pria di sebrang telepon. Shazaya terus berceloteh tentang malasnya besok karena harus bersekolah, sementara pria di dalam telepon hanya mendengarkan sambil sesekali tertawa kecil.

"Udah hari Senin, ihk malesin banget."   celoteh Shaza, tangannya melayang membuat ukiran abstrak di udara.

"Iya cok, mana sepatu hitam gue belum kering." respon Ghava.

Suara hening malam membuat suara dengkuran Shaza di telepon terdengar jelas, Ghava tersenyum kecil sambil memandang layar handphone, di layar itu tertulis nama 'Shazaya Laeruna XI8'.

"Selamat tidur, Shazaya Laeruna." ucap Ghava, jempolnya menekan ikon merah yang ada dilayar ponsel.

Ghava bangun dari rebahannya, kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar mandi. Rahang yang tegas dengan kulit wajah yang putih bersih itu perlahan terbasuh oleh air wudhu, mulutnya melafalkan do'a.

Suara kumandang adzan subuh terdengar di langit Jakarta, tangan lebar dan kokoh milik lelaki itu membenarkan sajadah nya. Ghava kemudian berdiri untuk melakukan salat subuhnya.

°❀⋆.ೃ࿔*:・

Selfrinazzhra
08-11-23

Stay with me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang