Part 25 [Video Call]

46 9 2
                                    

“Ayo.”

Diikuti oleh Liliane dan juga seorang wanita paruh baya yang bekerja di sini membawa minuman serta camilan.

“Yeva, ini ada temennya dateng,” ucap sang ibu membuka pintu kamar anaknya yang kini tengah berbaring.

“Liliane,” panggilnya dengan gembira, memang siapa yang tidak senang ketika sakit di datangi oleh teman, seolah membuktikan kalau mereka sungguhan peduli pada dirimu. Dan ini juga pertama kali baginya di datangi teman, sebelumnya memang dia tidak pernah memiliki teman sedekat ini, dia tidak pernah sungguhan mendapatkan seorang teman.

Liliane yang melihat itu menyunggingkan senyumannya. “Hai,” sapanya seraya duduk di bangku yang berada tidak jauh di samping kasur Yeva. “Lo sakit apa?”

“Cuma demam kok,” katanya sambil menyembunyikan kedua tangannya. Dia tidak mau mengatakan yang sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya. Dan tentu saja ibunya sangat menjaga nama baik itu tidak akan membiarkan hal buruk di rumah ini terdengar oleh orang luar, dan juga tidak akan membiarkan anak-anaknya membuat keributan di luar sana. Sebab itulah Ratna membentuk Yeva menjadi harus sempurna.

Wanita paruh baya yang membawakan minuman serta makanan itu meletakannya di meja dan berpamitan pergi dari sana tanpa perlu diperintah lagi oleh sang pemilik ruangan.

Jangan katakan Liliane pintar kalau tidak peka akan Yeva yang seolah menyembunyikan sesuatu di balik selimut itu. “Ini kue dari Cheryl, katanya biar cepet sembuh.” Liliane tertawa pelan mengatakan itu, karena mengingat bagaimana wajah temannya yang satu itu, begitu khawatir sekali.

Yeva melihat itu menganggukkan kepalanya. “Makasih banyak, tolong sampein ke Cheryl juga.”

“Kenapa gak langsung bilang aja? Emang ke mana ponsel lo, selama ini dihubungin gak bisa.” Liliane melirik pada Ratna, selaku ibu dari Yeva yang masih setia berdiri di sana melihat apa yang dilakukan mereka berdua.

“Eh itu-“

Sebelum Yeva melanjutkan ucapannya, ibunya langsung memotong dengan berkata, “ponsel Yeva sama tante, soalnya dia mau ikut lomba jadi dia sengaja kasih ke tante biar fokus belajar katanya. Tapi nyatanya tetap aja dia juara dua, mengecewakan. Padahal tante udah berusaha keras didik Yeva biar jadi juara satu terus, bahkan tante udah bikin dia les di tempat yang mahal.”

Liliane menyunggingkan senyuman yang sulit dimengerti oleh Yeva saat ini. “Juara dua? Itu udah hebat banget, apalagi Yeva baru ikut les melukis beberapa bulan yang lalu? Hebat banget bisa nagalahin ratusan orang dan jadi juara dua,” ucapnya memberitahu pada Ratna kalau ini tidak seburuk apa yang dipikirkannya.

“Tetep aja, tante gak pernah ngajarin dia buat jadi juara dua. Tante itu mendidik dan ngajarin buat dia terus jadi juara satu di mana pun dia berada,” ujarnya dengan kekeh.

Terlihat jelas sekali di wajah Yeva yang menyimpan kesedihan, dan mendengar apa yang dikatakan ibunya barusan. Liliane pun akan merasakan hal yang sama kalau dia berada di posisi saat ini.

Melihat karakter Ratna yang seperti itu membuat Liliane harus mengerti bagaimana bersikap dan membuatnya menjadi menyukai dirinya, dengan begitu dia akan lebih mudah untuk membantu Yeva agar tidak terlalu tertekan seperti ini.

“Mommy Liliane yang liat berita kemenangan Yeva, dia juga memuji Yeva. Apalagi pas tau kalo Yeva Cuma les selama beberapa bulan. Hebat banget, bahkan Yeva diundang ke rumah sama mommy karena begitu hebat.” Liliane kini menatap temannya itu. “Yeva hebat selama ini, dia udah berusaha sejauh ini. Dan itu membanggakan sekali.”

Yeva yang mendengar itu hampir saja menangis. Tidak ada yang pernah mengatakan seperti itu selain ayahnya selama ini. Dia senang sekali ada orang lain yang juga menghargai dirinya begini.

“Benerkan tante?” Liliane melanjutkan ucapannya sambil melihat Ratna yang masih berdiri terdiam.

“Eh iya iya. Tadi kamu bilang mommy kamu ajak Yeva ke rumah buat makan bareng?” ualngnya karena hanya perkataan itu lah yang membuatnya begitu tertarik.

Liliane menganggukkan kepalanya. “Iya, tapi Yeva masih kurang sehat. Nanti kalo dah sehat Liliane ajak Yeva ke rumah ya?”

“Iya, iya boleh banget kok,” jawabnya dengan begitu antusias. Dia senang sekali anaknya bisa berteman dengan Liliane, anak old money yang akan membawa keuntungan lebih banyak. Dan dia juga akan bisa mengatakan pada teman sosialitanya yang lain kalau dia berteman dengan keluarga Harrison. Itu akan sangat membanggakan sekali.

Yeva tidak tau itu sungguhan atau hanya untuk membuat ibunya senang begitu. Terlepas dari itu semua, Yeva senang sekali karena ini. Liliane memang sangat pintar untuk mengambil hati seseorang.

“Oiya tante, Liliane Cuma mau ngobrol berdua sama Yeva sekarang. Boleh kan?” tanyanya dengan senyuman yang begitu manis diwajahnya.

“Oh, boleh kok. Silahkan, Yeva kau baik-baik sama Liliane. Harus berteman baik kalian ya,” ujarnya sebelum melangkah keluar dari ruangan Yeva ini.

“Makasih.”

Liliane yang tengah mengambil ponsel di dalam tasnya itu menoleh. “Untuk?”

“Yang lo lakuin saat ini,” balasnya.

“Iya santai aja.” Liliane melihat pesan beruntun dari Cheryl yang menanyakan di mana keberadaannya, dan bagaimana dengan Yeva sekarang. “Liat ini,” ucapnya sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Cheryl itu.

Yeva duduk dan bersandar pada kepala ranjang dan melihat ponsel Liliane, dia tertawa. “Ya ampun Cheryl.”

“Iya, yang lain juga khawatir sama lo. Bahkan Ryn juga,” ucapnya sambil melihat reaksi Yeva, karena mereka berdua kalau bertemu seperti tidak pernah akur, selalu saja ada yang diributkan.

“Ryn khawatir sama gue?” tanya Yeva sambil menunjuk dirinya sendiri dengan yang sejak tadi disembunyikan di bawah selimut.

Liliane melihat kedua telapak tangan Yeva yang terperban oleh kain kasa berwarna putih mengerutkan dahinya. Jadi ini ah alasan sejak tadi dia bersembunyi dibalik selimut tebal itu. “Kenapa tangan lo?”

“Gak apa-apa.” Yeva kembali menyembunyikan kedua tangannya itu ke dalam selimut.

“Dihukum ibu lo ya?” tebak Liliane yang sudah pasti benar, mengingat bagaimana karakter Ratna seperti itu.

Yeva terdiam sejenak karena terkejut akan ucapan temannya itu yang memang benar adanya.

“Gue tau kali, gak usah nutupin gitu,” katanya sambil membuka kue yang diberikan oleh Cheryl dan memotongnya dengan pisau yang tersedia di sana. Sepertinya wanita paruh baya tadi yang mengantarkan tau kalau mereka akan memakan kue itu di sini, jadi menyediakan dua piring kecil dan juga pisau kue.

“Cuma jatoh,” ucap Yeva yang masih mencoba beralibi

Liliane memberikan potongan kue itu pada Yeva, mau tidak mau diambilnya dengan tangan yang terperban itu.

“Masih aja nyoba cari alibi,” ucapnya yang juga memotongkan kue untuk dirinya sendiri. “Bisa makan sendiri kan?”

“Iya bisa.” Yeva menyadari kalau ternyata sulit juga untuk berbohong temannya itu. Dia pintar sekali membaca situasi, mungkin Yeva nanti bisa belajar darinya agar lebih mudah mengatasi suatu hal ke depannya.

“Ayo kita video call yang lain, mereka pasti juga mau tau kabar lo gimana.” Liliane mengambil ponselnya dan menghubungi yang lainnya.

“Yeva,” pekik mereka senang karena akhirnya kembali melihat Yeva setelah seminggu lebih ini tidak melihat atau saling berhubungan.

“Kirain lo udah mati,” sahut Rynata yang langsung mendapatkan tatapana tajam dari Cheryl.

“Ryn jangan begitu!”

“Enak aja lo,” ucap Yeva pada Rynata yang mengejek dirinya.

“Yah kumat deh.”











Tbc
kalian lebih suka part menegangkan atau santai kaya gini?

The Tinted FatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang