"Lian! Tolong aku!" teriak Zihan meminta tolong pada adiknya. Ia sedikit kesulitan mengangkat dua kardus yang berisikan bahan-bahan kue.
Lian menoleh cepat ke arah Zihan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia segera berlari membantu Zihan. Kemudian ia mengambil satu kardus yang ada di tangan abangnya itu.
Siang ini, Nyonya Lee bersama ketiga anak laki-lakinya sedang menata toko kue yang akan mulai dibuka besok. Nyonya Lee bersama Guan mendapatkan bagian membersihkan kaca steling, sedangkan Lian dan Zihan mengangkut bahan-bahan kue untuk ditata agar rapi.
"Sedikit lagi selesai, Ma," ucap Guan disela-sela tangannya dengan lihai mengelap kaca yang ada di depannya.
"Iya, nanti kalau kau sudah, kau boleh istirahat terlebih dahulu," titah Nyonya Lee. Ia tahu jika anak sulungnya itu sudah sangat lelah, karena telah membantunya sejak tadi pagi.
"Iya, Ma," jawab Guan patuh.
Nyonya Lee tersenyum senang melihat anak-anaknya, mereka dengan senang hati membantunya tanpa mengeluh sedikit pun.
Setelah Guan menyelesaikan tugasnya, sekilas ia melirik ke arah Zihan dan Lian, sepertinya tugas mereka sebentar lagi akan selesai. Jadi, ia tidak perlu membantu kedua adiknya itu.
Setengah jam kemudian, Zihan dan Lian akhirnya menyelesaikan tugasnya juga. Mereka berdua bisa bernapas lega, lalu berpamitan pada ibunya yang masih terlihat sibuk mengecek bahan belanjaannya.
'•~ ~•'
Menganyam tikar adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh para perempuan suku melayu. Daun pandan berduri yang sudah dibersihkan dan dikeringkan, mereka jalin hingga membentuk sebuah tikar dengan berbagai ukuran.
"Hannah, aku dengar toko kue Nyonya Lee esok akan buka," ucap Aini. Disela-sela kesibukannya menjalin tikar, ia masih sempat mengajak Hannah mengobrol agar suasana tidak begitu membosankan.
"Lalu?" tanya Hannah tanpa menoleh sedikit pun.
"Bagaimana kalau esok kita ke sana?" tawar Aini. Jujur saja, selain ingin mencicipi kue buatan Nyonya Lee, ia juga penasaran dengan ketiga anak laki-laki keluarga Lee yang belum ada ia lihat.
Mata indah Hannah melirik sekilas ke arah Aini. "Iya, esok kita ke sana." Hannah menyetujui ajakan Aini.
Bibir ranum merah jambu Aini melengkung ke atas. Senyumannya begitu lebar, menandakan bahwa ia sangat senang ketika Hannah menyetujui ajakannya.
Tikar yang mereka jalin hampir satu minggu akhirnya selesai juga. Hannah meregangkan otot-otot tubuhnya yang sedikit lelah karena terlalu lama duduk, mungkin sekitar empat jam lebih.
Sore semakin menggelap, Aini berpamitan pulang. Meninggalkan Hannah seorang diri yang sedang mengemasi sampah-sampah pandan berduri yang tidak terpakai. Bukannya Aini tidak ingin membantu Hannah, hanya saja Hannah memaksanya untuk pulang, karena sudah terlalu sore. Terlebih lagi jarak rumah Aini dengan Hannah sedikit berjauhan.
"Aini sudah pulang, Nak?"
Ibu Hannah tiba-tiba muncul dari depan bersama ayahnya. Sepertinya mereka berdua baru saja pulang dari kebun, bisa dilihat bakul yang terisi dengan sayur-sayuran.
"Sudah, Mak. Baru saja dia pulang," jawab Hannah.
Hari semakin menggelap, Hannah segera menghidupkan lampu petromax untuk menerangi rumah kecilnya. Cahaya remang itu hanya mampu menerangi sebagian kecil sudut rumahnya.
'•~ ~•'
Toko kue Nyonya Lee ramai didatangi oleh para pembeli yang penasaran dengan apa saja yang dijual oleh perempuan cina itu. Kebetulan harga kue yang dijual Nyonya Lee masih tergolong murah. Jadi, masyarakat sekitar masih mampu untuk membelinya.
"Wah! Banyak sekali kue dan manisan yang dijual." Aini berdecak kagum melihat kue-kue dan manisan yang dipajang dengan rapi. Kue basah warna-warni membuat selera ingin mencicipinya.
Aini dan Hannah memilih kue apa saja yang menarik perhatian mereka. Di tengah kesibukan memilih kue, tiba-tiba mata Aini menangkap sosok ketiga laki-laki yang menurutnya begitu tampan. "Pasti mereka anak Tuan Lee," batin Aini.
Salah satu di antara laki-laki berjalan ke arah depan, mendekati para pembeli. Tidak lama kemudian, yang satunya lagi menyusul.
"Hannah," panggil Zihan saat menyadari ada Hannah di antara pembeli lainnya.
Kepala Hannah yang awalnya menunduk kini langsung menoleh ke depan, melihat Zihan dan Lian yang sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Hai Zihan, Lian," sapa Hannah kembali. Tidak lupa ia tersenyum manis seperti biasa.
"Kau mengenalnya, Han?" tanya Aini sedikit berbisik karena bingung. Sejak kapan sahabatnya itu kenal dengan anak Tuan Lee? Selama ini Hannah tidak pernah bercerita.
Hannah mengangguk kecil. "Iya, aku sudah mengenal mereka berdua." Hannah membisikan kalimat tersebut tepat di samping telinga Aini.
"Zihan, Lian. Perkenalkan ini teman aku, namanya Aini," ucap Hannah memperkenalkan Aini kepada mereka.
"Aini, perkenalan mereka Zihan dan Lian," lanjut Hannah gantian memperkenalkan kedua laki-laki itu kepada Aini.
Baik Aini maupun Zihan dan Lian, mereka saling tersenyum kikuk. Terlebih lagi kondisi toko sangat ramai, membuat mereka kurang leluasa untuk mengobrol.
"Kalian susah selesai?" tanya Zihan saat melihat Hannah dan Aini mengeluarkan beberapa uang logam untuk membayar.
"Sudah," jawab kedua gadis itu secara serentak.
"Nanti jangan pulang terlebih dahulu, ya. Ada yang ingin aku bicarakan, aku tunggu di bawah pohon mangga depan rumahmu," pinta Zihan pada Hannah dan Aini.
Setelah mendapatkan jawaban persetujuan dari Hannah dan Aini. Zihan bersama Lian keluar toko dan berjalan menuju pohon mangga besar yang dimaksudnya.
"Ada apa kau mengajak mereka ke sini?" tanya Lian penasaran.
"Tadi mama bilang, dia mau cari pekerja yang bisa membantunya di toko," jawab Zihan.
Zihan tidak berbohong, saat tadi pagi dia membantu ibunya membuat kue. Sang ibu sempat menyuruhnya untuk mencari dua perempuan yang bisa bantu membuat kue dan melayani toko.
"Dan aku ingin menawarkannya pada Hannah dan temannya itu," lanjut Zihan.
Sembari menunggu kehadiran Hannah dan Aini itu. Zihan dan Lian memilih untuk duduk di bangku panjang, tepat di bawah pohon mangga. Dua kakak beradik itu sesekali menyesap kopi yang sempat dibawanya.
"Aku kerap melihatmu melirik Hannah. Kau tertarik dengannya, ya?" tanya Zihan menggoda adiknya.
Lian mendelik saat mendengarkan ucapan Zihan. Nyaris saja dirinya tersedak kopi yang sedang diseruput. "Jangan bicara sembarangan!" geram Lian. Kemudian ia melirik tajam ke arah Zihan, membuat Zihan tertawa terbahak-bahak.
"Kau ini sangat aneh, Lian." Zihan menggelengkan kepalanya disela-sela tawanya yang masih terdengar pelan.
Akhirnya kedua gadis yang mereka tunggu datang juga. Zihan dan Lian menggeser posisi duduknya agar Hannah dan Aini dapat ikut duduk bersama mereka.
"Ada apa kau memanggil kami?" tanya Hannah.
"Jadi, gini. Mamaku sedang mencari dua orang pekerja yang bisa membantunya di toko. Apakah kalian mau?" tawar Zihan secara langsung tanpa basa-basi lagi.
Mata kecoklatan Hannah dan Aini berbinar indah saat mendengar tawaran yang diberikan oleh Zihan. "Mau," jawab mereka serentak.
"Kalau begitu, kalian bisa datang nanti sore untuk menemui mamaku," ucap Zihan.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi Lian sedang menahan senyum agar tidak diketahui oleh siapa pun. Dirinya begitu senang saat mendengarnya jawaban dari Hannah dan temannya itu, seperti ada sesuatu yang aneh bergejolak di hatinya.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Tepian Indragiri [Tamat]
Ficción GeneralHannah Puteri, gadis melayu yang tinggal di tepian sungai Indragiri, tepatnya di Rengat. Hannah yang berasal dari keluarga sederhana mencintai pemuda Tionghoa yang memiliki wajah tampan nan baik hati. Pemuda tersebut bernama Lee Fen Lian, anak bung...