Chandra berhenti tertawa karena perutnya sudah sakit. Dia mengambil buku kesayangannya itu dari atas nakas. Lalu menaruhnya didepan dirinya dan Andy yang duduk di lantai.
"Diary of Mahendra?" beo Andy saat membaca buku itu. "Abang simpen buku ini? Buku Bang Mahen?" tanya Andy tidak percaya.
Andy langsung membuka buku itu, berisi banyak sekali tulisan Mahen, sangat rapi dan indah. Terkadang, di beberapa lembar Mahen menggambar, abstrak maupun berbentuk hal yang mewakili perasaannya. Andy tak begitu membaca coretan yang ada disana.
Andy menutup buku tersebut, teringat sesuatu yang seharusnya dia katakan pada Chandra.
"Abang ...."
"Kenapa?"
"Apa bener, Abang punya ginjal yang tinggal satu?"
Deg!
Chandra terpaku seketika. Darimana Andy bisa tau? Atau dia mendengar kata yang Chandra lontarkan beberapa waktu lalu?
"Darimana kamu bisa tau? Ngada ada aja."
"Abang sendiri yang ngomong. Aku denger."
"Masa sih?"
"Iya!"
Tok tok tok
Karena letak kamar Chandra berada tepat disebelah ruang tamu, ketukan pintu itu terdengar dari kamarnya. Sudah jam lima sore, siapa yang bertamu didekat waktu seperti ini?
Chandra keluar bersama Andy. Mendapati Jendral, Jevin, dan Juna di ruangan depan tv.
"Biar abang yang buka." Juna bangkit dari duduknya, berniat kedepan membuka pintu.
Cklek!
"Bang Jun?"
"Woi, Bang! Lo ngapain lama banget?"
Jevin dan Jendral terus memanggil Juna yang tidak menjawab sama sekali. Juna diam terpatung, membiarkan wanita paruh baya ini memeluk tubuhnya.
"Ibu kangen sama kamu, Nak. Ibu kangen banget." Arina tersenyum dengan menangis sambil memeluk putra keduanya.
"Bang Jun-"
Ucapan Jendral terpotong saat melihat Juna dan Arina didepan pintu. Kaget? Sangat. Jendral melangkah mendekati Juna yang tengah dipeluk Ibundanya, Arina.
Baru saja Arina ingin memeluk Jendral, terlebih dahulu anaknya itu mengujar sesuatu.
"Kenapa Ibu-ah maksudnya anda ada disini?" Jendral menatap dengan sebelah alis terangkat. "Bahkan panggilan Ibu untuk anda saja udah nggak cocok."
"Jendral, maafin Ibu. Ibu tau kalo selama ini Ibu salah, Ibu juga tau kalo Ibu nggak punya malu karena berani kesini menghadap kalian. Ibu menyesal, ibu pengen memperbaiki semuanya," tutur Arina panjang.
"Bagus kalau anda merasa. Tapi tunggu, menyesal? Yang benar anda menyesal?" Jendral tersenyum miring. "Menyesal atas semuanya? Baru sekarang? Semua udah sia-sia, kata menyesal nggak akan berguna buat saat ini."
"Masih punya muka untuk menginjakkan kaki disini? Anda nggak malu?"
"Anda menyesal sekarang? Apa anda nggak pernah merenung tentang kita yang dulu? Sesakit apa?" Jendral terus memberi perkataan yang semakin menusuk hati Arina, tidak ada yang bisa dirinya lakukan lagi saat ini.
"JENDRAL!!" Jevin menyentak kembarannya karena sudah melampaui batas.
"Kenapa? Apa gue salah ngomong kaya gini ke orang yang udah buat hidup kita hancur? Yang buat kita nggak keurus dan belum sempet ngelakuin apa yang umumnya orang lakuin layaknya keluarga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Argana || NCT Dream [REVISI]
Fanfiction⚠BROTHERSHIP AREA, NOT BXB!!⚠ Jangan lupa follow akun wattpad author sebelum membaca! ** Bukan apa-apa, ini hanya tentang keenam Argana yang sama-sama bertarung dengan masa lalu mereka. Kehilangan. Siapa yang tidak pernah merasakan hal ini? Terlebih...