8

1.2K 301 21
                                    

Uang! Oh akhirnya satu kata merdu yang begitu membuai telinga. Uang! Uang! Uaaaaang!

“Tunai!”

Lembaran hijau bergambar pria botak berkumis tebal berjejalan dalam koper. Sebuah koper mungil warna hitam.

Setiap pemenang dipersilakan mengambil hadiah di lantai atas. Lantai tertinggi. Berbeda dengan lantai tempat orang menonton kekerasan maupun sibuk meraba satu sama lain, di lantai ini, lantai atas, suasananya jauh lebih sejuk.

Karpet hijau. Dinding yang dilapisi wallpaper bunga-bunga. Jendela yang menampilkan pemandangan perkotaan. Lampu gantung. Lukisan yang entah asli atau palsu....

Hmm bau uang yang paling menarik.

“Apa kamu nggak tertarik mendaftar sebagai pemain utama?” tanya si petugas. Hanya ada dia seorang di dalam ruangan. Dia tidak benar-benar sendiri karena ada “tim” lain yang mengawasi melalui CCTV. Itu belum termasuk dua pria berotot, yang jelas pasti punya kekuatan khusus, jaga di depan pintu.

“Nggak,” jawabku, tegas. “Aku masih di bawah umur, Om.”

Aslinya aku legal. Hanya saja demi melindungi diri dari kemungkinan kerja paksa dan masalah dan aku nggak mau terkenal, ya.

“Bekerja di sini bisa membuatmu kaya,” katanya. “Omong-omong, sampai kapan kamu berencana pakai topeng monyet.”

“Beruk,” koreksiku, “dan enggak. Aku nggak minat jadi anggota khusus.” Lekas kusambar koper, menutup dan menguncinya rapat, kemudian berkata, “Adios!”

Belum sempat aku hengkang, terdengar raungan sirine.

Sontak ekspresi si petugas pun berubah masam. “Sialan. Polisi dan cecenguknya!”

Itu bisa kuartikan sebagai bahaya. Ya jelas bahaya dong, memangnya apa? Kejutan menyenangkan?!

Pasti ada pesaing yang tidak menyukai kesuksesan bisnis ini atau memang yang punya usaha sedang apes saja. Aku tidak tertarik mencari tahu. Kakiku langsung mengikuti arahan si petugas agar kabur. Oh jangan cemaskan si petugas, dia bisa mengurus keselamatannya sendiri. Sekarang saatnya gunakan tangga darurat.

Ahaaa masalahnya begitu aku berniat menggunakan tangga darurat, ternyata di sana sudah ada sekelompok pria berseragam. Pakai lift? Dih pasti di sana pun sudah ada yang menunggu. Bukan pacar, pastinya.

Sontak kututup pintu, menguncinya dengan es, dan mendoakan semoga penggangguku harinya Senin terus!

Si petugas yang memberiku uang pun tampaknya sudah kabur, bukan menyelamatkan diri sepertiku, tapi mengurus bisnis. Aku lari menyusuri jalan apa pun yang bisa kuanggap sebagai tempat penyelamatan.

“Jangan bergerak!”

... hanya untuk menemukan petugas lainnya.

Kalau ada perintah “jangan bergerak” pastikan moncong senjata tidak sedang teracung di hidungku! Baru aku percaya.

Aku kabur, berhasil selamat dari serbuan peluru. Edan! Mereka tidak peduli dengan keselamatanku! Atau, jangan-jangan mereka berencana melumpuhkanku dengan cara menembak kakiku.

“Mamaaaaaa!” teriakku sembari berlari sekuat tenaga. Aku menjatuhkan pot, membuat dinding es tebal, pokoknya apa pun yang bisa memperlambat laju pengejarku. Apa pun itu termasuk koper berisi uang! Uangku! Uaaaaang!

[Gunakan jendelanya dan kenapa kamu buang uangnya?!]

Aku memecahkan kaca, melongok ke luar, dan menyambut perkotaan yang tampak membosankan. Ada berapa lantai? Sepuluh? Dua puluh? Aku tidak mau loncat ke atap karena jaraknya tidak memungkinkan. Sekalipun Putih membagi kesaktiannya, tapi itu tidak berarti diriku berubah jadi superhero!

Kuamati rangkaian pipa yang sepertinya cukup kuat sebagai pijakan. Jalur pipa itu mengarah ke atap terdekat, cukup bagiku sebagai lompatan.

Aku pun keluar dan menjejak pipa. Pelan-pelan menyusuri pipa, jemari mencengkeram pipa mungil lainnya, dan akhirnya aku bisa melompat ke atap terdekat.

Terangah-engah akibat topeng beruk dan lonjakan adrenalin, aku memaksa kedua kakiku agar terus berlari. Aku tidak ingat melompati berapa atap hingga sampai atap terakhir.

“Mama! Mamaaaa!” teriakku sembari mengacungkan tinju ke langit. “Uangku! Uwaaaa uang!”

[Jangan teriak-teriak! Ada seseorang mendekat.]

Mati aku! Apa mereka tidak mengerti kata menyerah?

Tubuhku membeku ketika sesuatu menghantam lantai. Kupikir peluru, ternyata benda tersebut adalah belati.

Belati perak.

“Jangan bergerak.”

Seorang cowok berdiri beberapa meter dariku. Dia mengenakan setelan keren ala pemburu setan. Tahulah. Celana hitam, atasan turtleneck, jas panjang hitam yang berkobar-kobar mirip jubah Batman. Secara keseluruhan cowok itu sangat keren (untuk ukuran jiwa mudaku). Dia berambut hitam dan matanya ... warna emas.

Emas?

Tunggu dulu! Apa dia bagian dari Bintang Fajar? Klan yang membenci vampir? Kelompok manusia yang lebih memilih memburu vampir dan mengendalikan dunia bawah atas nama kebajikan?

Aduh! Musuhku dong!

Bintang Fajar dan Bulan Merah seperti Capulet dan Montague. Tidak akur! Oh selain itu....

Jangan-jangan dia salah satu dari cowok yang uhuk uhuk uhuuuk dengan Jane. Uwoooooo menarik.

“Lepaskan topengmu,” katanya, memaksa.

“Emmm enggak mau. Soalnya aku takut kamu naksir aku.”

Sebelum menjawab, tentu saja suaraku telah kumanipulasi agar terdengar sangat cempreng.

“Kamu nggak berada pada posisi bisa memilih, Bocah.”

Aku? Bocah? Apa ini karena dadaku rata?! “Om, mengejar anak di bawah umur bisa dijatuhi pasal berlapis.”

Dia tidak memakan sindiranku sama sekali. Om? Dia masih muda dan nggak pantas dipanggil “om”, tapiiiii ya maaf hahaha hatiku telanjur sakit sih.

“Kata seseorang yang tertangkap basah masuk tempat kotor?” Suaranya mengandung penghinaan. Kurang ajar.

“Om, aku, kan, butuh uang.”

Tidak ada senjata api, maka kuasumsikan ia menggunakan kesaktian. Entah apa pun yang ia miliki, pastinya sangat buruk.

[Nak, dia jauh lebih kuat daripada kamu.]

Terima kasih. Itu aku juga tahu!

“Apa yang bocah cilik sedang lakukan di tempat hiburan milik orang dewasa?”

“Om, nggak baik ingin tahu urusan orang lain,” jawabku, santai. “Lagi pula, aku janji nggak bakal pulang telat. Om, paham?”

“Kalau begitu orangtuamu harus membuat laporan di kantor.”

Dia semakin mendekat. Kulirik penampung air yang kira-kira cukup menarik dijadikan sebagai senjata. Ketika targetku hanya tinggal beberapa langkah saja dari sasaran, aku menembak penampung air, meledakkannya, dan memanfaatkan momen tersebut untuk melompat dari gedung.

“Putih, gawat darurat! Terbangkan aku ke tempat aman!”

Untungnya Putih bersedia mengalah. Dia menciptakan kabut, menyelimuti tubuh kami dari pandangan siapa pun, dan membawaku pergi menjauh.

[Dia bukan lawanmu.]

“Makasih, aku ngerti kok.”

Gaya Putih ketika membawaku pulang. Selalu! Selalu mirip induk kucing memaksa anaknya pulang!

Udah deh, tidak masalah. Yang penting malam ini aku aman.

Damai sentosa.

***
Selesai ditulis pada 10 November 2023.

***
Cuaca masih panas. Tadi gerimis sebentar dan setelahnya panaaaaas.

Salam cinta dan kasih sayaaaang.

LOVE.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang