4. Jika dunia kita tidak bersinggungan

562 97 1
                                    

Grace duduk di kursi depan Alura, memangku kening dengan wajah melongo sebelum mengusap wajahnya kasar.

"Kasih satu alasan yang paling masuk di logika gue, kenapa preman senggol bacok kayak Van yang ngamuknya kayak maung kesurupan itu harus dijaga sama perempuan lemah macam lo?" Tanya Grace membuat Alura berdecak, tidak bisa menjelaskan secara rinci perihal kematian yang dia lihat.

Lebih tepatnya Alura ingin menjaga Van agar kematian itu tidak terjadi.

Kali ini Alura mengetahui identitas orang yang dia lihat kematiannya.

Tidak mungkin dia membiarkannya begitu saja.

Melihat sepak terjang Van yang seorang ketua geng motor, sepertinya Alura tidak bisa menjaganya dari kejauhan.

"Gue harus jagain Van dari deket." Ujar Alura.

Grace makin gila dibuatnya.

"Mana bisa remahan rengginang macam kita dekat sama geng motor Cruz?! Apalagi ketuanya!" Ujar Grace menggeleng pelan membuat Alura berdecak membenarkan.

Lalu bagaimana caranya menjaga Van?

**

"Wee, bos! Kenapa gak lo banting cewek tadi?" Tanya Ian langsung membanting tas ke kursi dan ngabrut ke meja Van yang terletak paling belakang barisan dekat jendela.

"Ternyata lo punya sisi lembut juga sama cewek." Ujar Jonash yang duduk di sebelahnya, menepuk pundak Van sekali sambil magut-magut.

Ren yang duduk di sebelah Jonash hanya melirik sekilas sebelum kembali push rank sedangkan Yasa membaca buku sambil memakai earphone dan Ditto sibuk bercengkrama dengan anak lain.

Van yang dicecar pertanyaan hanya diam. Bingung sendiri. Entah karena ucapan perempuan itu yang membuatnya teralihkan sekejap atau karena dia tidak sengaja pernah menabraknya di jalan sampai menangis waktu itu.

Mungkin diantara itu. Van tidak tahu dan tidak mau terlalu memikirkan.

Tapi jika Alura berani memegangnya lagi kelak, akan langsung dia banting.

"Bacot. Diem gak?" Ancam Van menoleh dengan wajah sangar membuat duo bacot yang tidak lain Jonash dan Ian sontak menutup mulutnya rapat.

Van menghembuskan napas sebelum menyandarkan punggung pada kursi, menoleh menatap langit biru dari balik jendela sebelum mengerjap pelan.

Bagi Van, langit biru tidak pernah secantik langit senja.

Meskipun begitu, langit biru tidak pernah semenyakitkan langit senja.

Van jadi berdecak sebelum menutup netranya pelan.

**

"Avandra, bajunya gak dikancing itu!! Kamu ini, mau jadi siswa apa mau jadi preman?!" Ujar perempuan paruh baya dengan badan cukup berisi, rambutnya disanggul rapi dengan kacamata kotak bertengger di hidung mancungnya.

Bu Karhi yang menjabat sebagai guru BK itu menunjuk kemeja putih Van yang terbuka dengan penggaris panjangnya membuat Van yang sedang istirahat di tempat, menghembuskan napas kasar sambil merolling netra malas sebelum mengkancing bajunya dengan malas-malasan.

Keenam lelaki itu sedang di sangsi Bu Karhi karena ketahuan akan bolos saat jam pelajaran keempat. Mereka ke-gep di taman belakang sekolah dekat dinding yang biasa dipakai mabal.

"Kalian semua juga, cepat kancingkan seragamnya! Renan, buka hoodienya! Dasar! Kayak mau ke warnet aja! Jonash, buka topinya! Gak upacara, kenapa pakai topi! Rambut kamu panjang, ya? Takut kena rajia?! Buka topinya sekarang, ibu cek!" Perintah Bu Karhi.

Jika Kamu Mati BesokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang