Matanya terpejam. Meski dari jarak yang jauh, telingaku masih sanggup menangkap desahan nafasnya. Angin lembut membelai rambut auburnnya. Dia yang termenung di sana, di samping lapangan yang menjadi impian.
Langit senja mulai pudar ditelan pekatnya malam, namun kau masih disana. Dengan kaos putih dan celana baggy merah lusuh yang membungkus tubuhmu. Kau masih sama seperti dulu, tetap saja sempurna namun tanpa pertahanan. Dengan kepolosanmu, kau bisa membuat dirimu termakan oleh para laki-laki bejat yang menginginkanmu. Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi, selama aku masih disini.
Otakku memutar memori yang pernah terjadi tanpa bisa kuhentikan. Aku menyerah dan menutup mata, menikmati setiap kenangan yang disuguhkan.
Pesonamu saat pertama kita bertemu. Keberanianmu yang menarikku untuk memelukmu. Mata biru saphiremu yang menghisap jiwaku setiap kau menatapku. Senyum manismu...Aku mengepalkan tanganku dengar erat, tapi rasa sakitnya tidak bisa mengalahkan sakit dihatiku. Aku marah karena kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa suatu saat kau akan menjadi milikku hingga laki-laki sialan itu datang.
Tatapanmu saat melihatnya. Senyum tulus yang kau berikan untuknya. Hingga tangis bahagia saat kau bilang 'ya' atas pernyataan cintanya. Dan kau yang ada dalam pelukannya, bukan pelukanku.
Aku pasti langsung membunuhnya ditempat jika aku tidak sadar kalau itu hanya akan membuatmu membenciku. Sebesar hasratku untuk melenyapkanya, aku lebih tidak mau melihatmu menangis karena aku.
"Keh... Manager sialan itu tidak akan mungkin memilihku, meski aku satu-satunya orang di dunia ini..." Aku tersenyum getir.
"Yang pernah kulakukan hanya menyakitimu... Hanya orang bodoh yang mau memilihku..."
"Kau yang cukup bodoh untuk melepasnya Hiruma."
Aku menoleh ke bawah, ke sosok yang bersandar di pohon yang sedang kududuki.
"Apa maumu?" Tanyaku ketus.
"Aku hanya mau menyadarkanmu." Jawabnya sambil mengorek kupingnya. Kebiasaan yang sering dilakukan.
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak perlu berpura-pura jadi bodoh Hiruma."
Aku hanya diam.
"Kalau saja waktu itu kau berjuang lebih keras..." Suaranya bergetar. "Kau menyerah begitu saja, kau yang melepasnya. Dia tidak punya pilihan selain menerima pria itu."
Aku masih tetap diam, memperhatikan dia yang ada di lapangan itu. Merekam sosoknya dalam otakku lekat-lekat.
Laki-laki tua sialan itu mendesah. "Hiruma." Dia meminta perhatianku. "Aku tidak menyalahkanmu karena menyelamatkan dia. Aku hanya tak berpikir iblis sepertimu kenal kata menyerah. Bahkan ketika kami semua disana menyemangatimu..."
"Apa yang kau katakan orang tua sialan? Aku sudah meraih semua yang kuinginkan, buat apa aku susah-susah masih disini? Kekekeke." Ku tunjukkan gigi taringku.
"Tapi masih ada satu yang belum bisa kau raih dan kau tahu itu."
Aku terdiam lagi. Kata-katanya benar. Sulit untuk berbohong dihadapan orang ini."Terlepas dari impianku yang satu itu, aku lebih memilih kebahagiaannya..."
"Dan kau tahu dimana letak kebahagiaannya?"
"..."
"Itu kau Hiruma, kaulah kebahagiaannya. Kau tahu bagaimana dia menjalani hidupnya saat kau sudah tidak ada? Apa kau mendengar tangisnya di rumah sakit, memanggil namamu? Apa kau tahu siapa yang sebenarnya akan dia pilih?"
"Aku tahu, bodoh! Tapi aku tidak bisa!" Aku mengaku akhirnya.
"Kenapa?"
"... Aku bukan orang yang tepat... Mata merah sialan itu lebih baik dariku."