.
.
"Tiap-tiap tempat merekam sejarah. Sejarah kelam, akan meninggalkan aura kelam. Sejarah indah, akan meninggalkan aura keindahan."
.
.
***
"Silakan, Tuan Yunan," ucap Prama saat membukakan pintu kamar.
Yunan mengucapkan terima kasih pada Prama, sebelum ia masuk ke kamar yang sepertinya akan jadi tempat menginapnya selama berminggu-minggu ke depan.
Sebuah kartu berucapkan selamat datang, dan segelas water infusion dingin berisi buah lemon, berdiri anggun di meja bundar. Yunan duduk di kursi klasik dan meneguk minuman dingin itu sejenak.
Menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, mata Yunan memejam. Tiap tempat punya aroma yang mengingatkannya pada sesuatu. Dan begitu juga tempat ini, yang aromanya mengingatkan Yunan akan Raesha. Selama hidup di bawah atap kediaman keluarga Danadyaksa, pusat perhatiannya tertuju pada Raesha. Pernah menjadi pusat hidupnya : Raesha Akhtar. Yunan rela mengorbankan nyawa untuk keselamatan Raesha. Apa saja. Semuanya untuk Raesha.
Pernah. Semestinya hanya pernah.
Karena sekarang situasinya sangat berbeda. Ada Arisa. Ada anak-anaknya. Apa yang dia pikirkan? Ada Arisa, wanita yang mendampinginya selama ini. Arisa rela hidup jauh dari keluarganya, demi mengurusinya dan kedua anaknya. Sekarang, anak-anak tinggal berjauhan dari Arisa. Elaine ke Jakarta, Raihan ke Tarim. Tapi Arisa yang tadi pagi menanyakan kabarnya, dan ngotot ingin menyusulnya ke Jakarta, adalah istri tercintanya yang sudah menghabiskan hati dan energi untuknya.
Lalu kenapa, tiap kali melihat Raesha, dia selalu bereaksi seperti itu? Selalu --
Nyaris air matanya menggenangi pelupuk mata. Yunan terkejut saat suara Adli terdengar di luar pintu.
"Kak. Ini aku."
Yunan bangkit dari kursi dan membukakan pintu.
"Ya, Adli?"
"Ada yang mau kubicarakan, Kak. Apa ini waktu yang tepat? Atau mungkin Kakak mau istirahat dulu?" tanya Adli dengan wajah serius.
"Masuklah," sahut Yunan membuka pintu lebih lebar.
Pintu ditutup setelah Adli memasuki kamar. Mereka duduk berhadapan.
"Polisi menelepon Kak Raesha. Barusan," kata Adli langsung, tanpa basa-basi. Ia tidak ingin berlama-lama sebab tak ingin mengganggu waktu istirahat Yunan.
"Oke. Raesha diminta ke kantor polisi?" tanya Yunan.
"Raesha dan Kakak juga. Anak-anak juga," jawab Adli.
Yunan menghela napas. Tak terhindarkan. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Dia dan Raesha pasti akan terlibat pertemuan bersama. Untungnya, ada anak-anak. Dan ada supir. Yunan akan duduk di samping supir, pastinya. Tapi tidak mungkin Yunan mendiamkan Raesha sepanjang jalan. Mereka juga pasti akan berkomunikasi selama proses penyelidikan di kantor polisi.
"Kamu tidak dipanggil?" tanya Yunan lagi.
Alis Adli naik sebelah. "Belum. Sebentar lagi, mungkin," sahut Adli sebelum nyengir. "Kakak sama Kak Raesha, pokoknya jelaskan saja apa adanya. Kalau mereka tanya soal tembakan pistol pengawalku, bilang saja terus terang kalau tembakan itu atas persetujuan dari aku sebagai atasan mereka. Jangan khawatir. Senjata itu semuanya punya izin. Bukan ilegal," imbuh Adli.
"Oke," kata Yunan, kembali menghela napas berat.
"Kalau jadwal penerbangan Kak Arisa sudah ada, besok Kakak kasih tahu Prama aja. Dia yang akan urus supir untuk jemput Kak Arisa di bandara."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED 2
EspiritualSemua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik angkatnya sendiri. Plus, Yunan jadi lebih akrab dengan Ismail dan Ishaq, kedua putra Raesha. Arisa sebagai istri Yunan, dibuat galau dengan p...