Senja yang mengintip dari balik bukit berhasil membuat laki-laki berpunggung lebar ini termenung, berkelana di alam pikirnya. Angin sore hari yang menerpa wajahnya pun tak membuat ia sadar dari lamunannya, memikirkan kejadian yang menimpa keluarganya pada lima jam yang lalu masih terasa mimpi untuknya.
"Mas Kara, aku lapar" suara bocah yang kerap di panggil adik oleh keluarganya benar-benar membuat laki-laki itu tersadar dari lamunannya.
Terlihat adiknya menarik-narik lengan kemejanya, merengek kelaparan. Mungkin bocah laki-laki itu tak akan berhenti sampai sang kakak menggubrisnya.
"Apa yang akan kita lakukan setelah ini, Mas?" Tanya adik perempuannya. Aruna benar-benar tak tahu apa yang sudah terjadi dengan keluarganya. Ia hanya mengikuti kakak laki-lakinya entah akan pergi kemana, karena keluarga yang tersisa hanyalah mas Sangkara dan dik Juna.
Terlihat secercah harapan bahwa kali ini Sangkara menggubris Aruna. Ia menoleh ke arah adiknya, menunduk, memikirkan kata-kata yang pas untuk ia suguhkan kepada sang adik perempuan.
Menghela nafas sejenak, lalu, "mungkin setelah ini kita bisa pergi ke rumah budhe Lana dan pakdhe Tama. Mas akan berusaha merayu mereka untuk menampung kita beberapa hari kedepan. Bagaimana kedengarannya, Runa?" tanya Sangkara sambil menggoyang-goyangkan tubuh Juna yang ada di pangkuannya.
Aruna mengangguk setuju. Gadis berumur sembilan tahun ini benar-benar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Bahkan ia belum pernah sekalipun berada di lingkungan seperti ini, ia selalu dijadikan tuan putri layaknya princess Disney. Sebuah keuntungan bagi Sangkara memiliki adik seperti Aruna yang tidak mengeluh sekalipun.
"Bagaimana jika budhe Lana dan pakdhe Tama kita beri kain sutra ini, Mas? Kain sutra ini dibuat oleh miss Suzy secara pribadi khusus untukku saat itu," ucap Aruna, mengeluarkan sebuah kain sutra bermotif bunga sakura yang terlipat rapi dari dalam ranselnya.
Sangkara tercengang dengan apa yang adik perempuannya lakukan. Ia tidak menyangka bila adiknya masih membawa kain sutra tersebut. Memang benar jika kain itu adalah kain favorit adiknya apalagi dibuat khusus oleh miss Suzy, seorang desainer terkenal dari Korea Selatan.
"Kamu yakin, Na?" Tanya Sangkara yang dibalas anggukan oleh Aruna.
Kembali melipatnya dengan rapi lalu memasukkannya ke ransel, Aruna beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangannya untuk sang kakak. "Ayo kita ke rumah budhe Lana dan pakdhe Tama sekarang."
Sangkara menerima uluran tangan Aruna dan beranjak dari duduknya. Ia menggandeng adik perempuan satu-satunya itu dengan Juna yang berada di gendongannya, bergegas ke rumah budhe dan pakdhe nya sembari memohon kepada Tuhan semoga bibi dan pamannya masih mau menampung mereka.
Saat dalam perjalanan menuju rumah budhe Lana dan pakdhe Tama, lintasan peristiwa yang menimpa keluarganya lima jam lalu berjalan di kepalanya layaknya sebuah film yang sedang di putar ulang.
"Dengan hormat, kepada letnan Andre Wicaksana beserta keluarga. Kami menulis surat perintah ini berdasarkan apa yang sudah terjadi saat ini. Letnan Andre Wicaksana telah diduga menyalah gunakan wewenangnya selama menjadi kolonel."
"Apa maksudnya itu, Dik Aji? Penyalah gunaan apanya? Bukannya beliau baru saja pergi menemani bapak menteri pertahanan selama di Jepang. Bagaimana bisa?"
"Mohon maaf sebelumnya, Nyonya Dae. Saya hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh tetua. Mohon jangan menghalangi keberlangsungan penggeledahan. Lakukan semua, jangan ada yang tersisa!"
"Tunggu dulu, Dik Aji, jangan-"
"Bu Dae, Bu Dae, kula pikantuk kabar saking Mas Hadi babagan Pak Andre," (Nyonya Dae, Nyonya Dae, saya mendapatkan kabar dari Mas Hadi tentang Tuan Andre,) pak Banyu—sopir pribadi kepala keluarga Wicaksana—berlari secara tergopoh-gopoh menghampiri nyonya nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggalkan Di Sana
Short StoryKeluarga Wicaksana adalah keluarga tersohor yang berkembang di keamanan negara. Suatu hari, kepala keluarga Wicaksana-bapak Andre-harus menjalankan tugas sebagai letnan untuk mengawal menteri pertahanan dalam perjalanannya menuju Jepang. Tetapi, sa...