"Radi, kamu yakin nggak butuh ke rumah sakit?" Damaja menanyainya mungkin sudah lebih dari sepuluh kali sejak sepulangnya dia dari sekolah Naga.
Dan, sepuluh kali pula lah Paradikta hanya mendesahkan napasnya jengah. Bedanya, pria yang baru saja selesai meneguk air mineral di dapur itu sontak menggelincirkan sorot bercita rasa lelah demi menuding Damaja sambil berkata malas, "Kan Papa lihat sendiri dia cuma lecet."
Damaja bahkan tadi langsung datang dari kediamannya begitu mendengar kabar kalau terjadi kecelakaan di sekolah Naga. Semula mungkin pria itu kira cucunya lah yang lagi-lagi terluka. Namun begitu dia sampai rumah yang ditinggali Paradikta, pria itu malah mendapati Naga digendong oleh Nur Ami sambil menangis tersedu-sedu memanggili seseorang dengan sebutan 'Nte' secara berulang-ulang maka, dia tahu bahwa yang terluka bukanlah sang cucu.
Entah apa gerangan yang sudah terjadi. Paradikta belum banyak bercerita. Namun untuk Damaja, begitu dia melihat Prisha yang nyatanya hanya duduk mematung, rasanya dia sangatlah familier dengan situasi ini.
Dulu, Damaja pun sempat melihat seseorang yang walau kelihatannya bahagia, tapi diam-diam menyimpan duka yang dalam sendirian.
Prisha mungkin tidak seperti orang itu yang masih bisa berpura-pura baik-baik saja sambil menebar senyum ke sana-sini. Tetapi, dengan dia tidak bereaksi Damaja mengira kalau ....
"Fisiknya memang tidak terluka, tapi hatinya?" gumam Damaja sembari melarikkan netranya ke arah sofa di mana sosok Prisha yang dulu membuatnya sangat senang setiap kali mengawasi dari jauh anaknya sedang mengobrol di pantry bersama perempuan itu. Well, dia memang sudah jadi seorang pendiam dari dulu. Akan tetapi, Prisha sesungguhnya sangatlah perhatian.
Damaja selalu mengamati. Sesederhana Paradikta yang di suatu hari mendadak bakal minum air banyak-banyak gara-gara diingatkan oleh Prisha kalau dia duduk nyaris 12 jam sehari akibat lembur melulu. Atau, anak itu yang pulang kantor langsung ke barber shop karena Prisha sempat memberi tahu kalau rambutnya sudah lebih panjang dari biasanya. Pokoknya, apa pun yang dikatakan Prisha, akan selalu Paradikta diam-diam ikuti.
Sesungguhnya, Prisha memang tampak terluka sedari lama. Namun hari ini, saat dia masih saja tidak bergerak ke mana-mana dari semenjak tadi Paradikta membantunya untuk duduk di tengah-tengah sofa sana, Damaja bisa mengira se-complicated apa obstacle yang harus gadis itu hadapi di hidupnya.
Namun, bukannya menseriusi pendapat Damaja, Paradikta justru mendengkus keras ketika membalas, "Memangnya hati yang terluka bisa sembuh dengan hanya pergi ke rumah sakit?"
Paradikta jelas sedang membicarakan mengenai dirinya sendiri. Dia terluka karena Saniya. Luka yang lama dan dalam. Damaja tahu anaknya belum lah sembuh. Jangankan sembuh, ditolong pun dia tak mau. Bahkan, lebih parahnya dia justru terus mencipta luka-luka berikutnya yang berpotensi bikin dirinya remuk redam pada akhirnya.
Semakin dewasa rasanya semakin sulit bagi Damaja untuk bicara tanpa kesan bersitegang dengan Paradikta. Ah, dulu, masih mendingan sih. Hanya saja, setelah Gustiraja aktif menjodoh-jodohkannya, Damaja seperti tidak kuasa lagi menjangkau sang putra yang bak telah terseret arus laut terlalu jauh.
"Tapi, menurut Papa, tolong tetap kamu pertimbangkan. Prisha jelas tidak sedang baik-baik saja. Kamu pun tahu itu," final Damaja sembari berlalu meninggalkan sang putra.
Sementara itu, Paradikta yang masih menumpuk dua lengannya di permukaan dingin meja kitchen island spontan memanjangkan netranya. Persisnya, demi memandangi seseorang di sofa.
Tadi dia sedang di ruang kerjanya di kantor. Tak terlalu sibuk hanya duduk sambil mendengar Sekretarisnya membacakan jadwalnya di sisa hari setelah dia menyelesaikan dua meeting internal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Fiction généralePrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...