ACDD 55# GUGURNYA SANG PELITA

16.4K 1.1K 211
                                    

ACDD 55# GUGURNYA SANG PELITA

"Tidak perlu pergi jalan-jalan untuk mendapatkan ketenangan. Tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan ketenangan, jika pada kenyataannya tengah menjauhi Allah. Jawabannya hanya satu agar hidup bisa tenang, Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub. Yaitu hanya dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tenang."

~Aisfa (Cinta dalam Doa)~

🕊🕊🕊

"Gak papa ya saya tinggal sebentar?" pamit Gus Alfatih sembari menangkup wajah istrinya.

Aisfa menganggukkan kepala dengan wajah sedih. Hatinya seolah tidak rela LDR-an dengan suaminya yang hendak pergi berdakwah selama seminggu di beberapa kota.

"Ikut, Kak," rengek Aisfa pada akhirnya. Air matanya turun tanpa bisa dicegah.

"Bukannya saya gak mau ajak kamu, Habibati. Tapi saya khawatir nanti kamu kecapean dan berujung sakit. Kasian Ali juga kalau harus ikut. Saya janji setelah saya pulang nanti, saya bakalan ajak kamu dan Ali jalan-jalan. Katanya pengen pergi umrah, hm?"

Aisfa menaik turunkan kepalanya dengan isakan pelan. "Ya udah kalau gitu. Janji ya?"

"Insya Allah." Gus Alfatih mengecup kening istrinya cukup lama.

Ali melebur, memeluk lutut Gus Alfatih. "Abi mau pergi?" tanyanya.

Gus Alfatih mengangkat putranya. "Iya, Sayang. Abi harus pergi menunaikan perintah Allah. Ali jangan nakal ya, Nak. Abi titip Umi sama Ali. Jagain Umi dengan baik, oke?"

Anak kecil itu mengangguk serius. "Oke, Bi."

Ali merentangkan tangan pada Aisfa yang sedang membuang wajah, tak ingin air matanya terlihat. Melihat itu, Gus Alfatih pun menyerahkan Ali kepada istrinya. Hatinya tidak tega melihatnya menangis begini. Selalu saja hal itu terjadi ketika dirinya harus meninggalkannya karena keperluan berdakwah atau karena masalah pekerjaan dengan kurun waktu lama.

"Umi, jangan nangis." Anak kecil itu menghapus air mata Aisfa dengan tangan mungilnya. Matanya ikut memanas melihat Aisfa menangis.

"Oke, Umi gak nangis deh." Aisfa berusaha tersenyum tegar.

Gus Alfatih melirik arloji di pergelangan tangannya. "Jadwal penerbangan saya sebentar lagi. Saya harus segera pergi."

"Fii amanillah, Kak."

Tin tin

Suara klakson mobil itu pertanda jemputan Gus Alfatih sudah datang. Ia akan pergi ke luar kota bersama managernya.

Aisfa dengan perasaan rapuh mencium punggung tangan suaminya. Ali pun demikian. Bahkan Ali yang semula terlihat kuat, menangis ketika Gus Alfatih menyeret koper meninggalkan rumah.

Dengan langkah gemetar Gus Alfatih pergi. Sejujurnya ia juga merasakan sakit ketika harus berpisah dari istri dan anaknya. Terlebih melihat air mata mereka. Namun, Gus Alfatih bahagia mengetahui pahala dari pengorbanannya ini sangat besar. Karena ia telah mengikuti jejak Rasulullah untuk berdakwah.

🕊🕊🕊

"Umi, Ali mau berenang," kata Ali menarik ujung Khimar Aisfa.

Aisfa (Cinta dalam Doa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang