Butuh empat hari penuh bagiku untuk berani menemui Pak Pala dan menyampaikan apa yang beberapa hari lalu aku diskusikan dengan Ibu. Sesaat setelah bercerita dengan Ibu, rasanya aku siap untuk menantang Pak Pala saat itu juga. Malam harinya, begitu ketemu Pak Pala, keberanianku luntur. Langkahku selalu gagal melaju setiap kali keinginan untuk menyampaikan penolakan itu muncul.
Sekarang, detik ini, aku akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk berbicara berdua dengan Pak Pala. Itu pun, aku masih membawa laporan sebagai bahan pembuka percakapan.
"Nilai mortalitas untuk Bambu Wulung ini tinggi juga, ya?" tanya Pak Pala setelah selesai membaca dua lembar data yang aku ajukan padanya. Itu adalah data persentase kematian eksplan―bahan tanam dalam kultur jaringan. Dia terlihat berpikir. "Browning?"
Browning adalah perubahan warna bahan tanam menjadi cokelat beberapa hari setelah ditanam di media agar. Kondisi ini adalah momok terbesar bagi kami. Eksplan yang mengalami browning sudah bisa dipastikan tidak akan bertahan.
"Iya, Pak," jawabku agak gugup. Benakku sedang menyusun kalimat yang tepat untuk mengatakan tujuan utamaku menemuinya.
"Eksplan yang dipakai dari organ apa?"
"Tunas muda, Pak. Seperti protokol yang sudah kita jalankan selama ini." Pikiranku mulai terpecah. Sedikit gagasan mulai terbentuk di benak. "Protokol itu berhasil untuk hampir semua jenis bambu yang kita uji. Cuma yang wulung ini aja yang beda."
Inilah sulitnya. Sama-sama bambu, tapi kami tidak serta-merta bisa menggunakan protokol yang sama. Beruntung kalau satu protokol ternyata cocok untuk banyak jenis tanaman. Kalau tidak, kita harus melakukan uji coba berkali-kali hingga mendapatkan yang sesuai, baik dari komposisi media tanamnya atau pun dari jenis eksplan yang dipakai.
"Coba kamu kaji lagi bagaimana karakter rebung Bambu Wulung," saran Pak Pala. Matanya kembali meneliti lembar-lembar data di tangannya. "Kalau dilihat dari penyebab kematiannya, bisa dipastikan masalah ada di jenis eksplan yang dipakai."
"Sebenarnya, saya sudah melakukan kaji ulang dan memikirkan beberapa alternatif eksplan pengganti." Meski otak tengah sibuk melatih kalimat pertama untuk penolakanku, aku tak boleh sekadar ber-iya-iya saja.
Pak Pala paling tidak menyukai bawahan yang datang dengan masalah tanpa sempat memikirkan solusi sedikit pun. Entah solusi itu bakal diterima atau tidak nantinya, tidak jadi masalah. Setidaknya, kita sudah menunjukkan usaha untuk memperbaiki situasi.
"Opsi terbaik yang mungkin adalah akar muda," lanjutku memamerkan gagasan yang sudah kupersiapkan. "Sayangnya, kita tidak punya stok eksplan akar. Kita terlalu percaya diri pada keberhasilan eksplan tunas jenis bambu lain, sehingga kita mengabaikan eksplan akar."
Kesalahan yang tidak seharusnya terjadi. Memalukan sebenarnya, seolah pengalaman kerja selama tiga tahun ini tidak mempersiapkanku untuk kondisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAMBUSA WISHES (Gerha Purana Series)
ספרות לנערותBAMBUSA WISHES Retelling Dongeng Timun Mas Grisella Putri Kanani sudah menjomlo selama dia hidup. Saat akhirnya ada laki-laki yang tertarik padanya (baca: melamar), umur laki-laki itu nyaris setengah abad. Masalah lain, si pelamar adalah Pak Pala, b...