Kebetulan ini hari minggu, hari paling santai untuk orang yang begitu tak suka lalu-lalang kendaraan sepertiku. Semalam hujan turun dengan gemulai, petir menyambar yang nyaris membuat mataku sembab sebab ketakutannya begitu membabi buta untukku. Semalam, sehabis pulang dari Kalea aku merebahkan diri untuk kemudian kembali melanjutkan tulisanku. Kali ini aku mendengarkan kembali Bernadya, mendengarkannya berkali-kali, berputar-putar kali ku ulangi, lagu kesukaanku, lagu terbaikku, masa sepi-bernadya.
Katanya, rasa ini datang lagi namamu belum juga pergi dari hati, rintik kembali membasahi pipi sebab bayangmu masih disini. Ku kira hanya sekali, ku dihantui kenangan indah memori, luka yang kau gores membekas abadi, namun ku masih ingin kau kembali, dulu ku kira ku akan kuat, kini aku hilang akal sehat, kau kan selalu jadi yang ku tunggu sampai nanti saat masa sepi tak lagi menghampiri. Menurutku, lagu ini terlalu berhasil menyakiti orang-orang sepertiku, terlalu indah kalimat yang dibuat penulisnya sehingga mampu membuat aku, dan kami yang merasakan hal yang sama, meneteskan luka pada tiap bait nada dan lagunya. Masa sepi setelah tak bersama orang tercinta dan terkasih, begitu sepi yang terlalu hening. Tak bisa untuk kami menjalani hari dengan harap ada bahagia, sebab bahkan ketika kami memiliki waktu sejenak untuk mengistirahatkan tubuh saja, yang kami lakukan hanya menangis, menangisi kesepian ini, keheningan ini, sebab orang yang kami kasih dan cintai sudah hilang dan tak bisa kami kabari.
Siska bersusah payah mengabariku untuk bisa menjalani rutinitasnya ditiap minggu pagi, berlari-lari kecil mengikuti arus mereka yang juga sama melakukan rutinitas ini, car free day. Ku lihat, Jakarta yang bukan belahanku sudah begitu banyak berkembang, kabar-kabar diluar sana memang benar, bahwa kota ini adalah kota yang indah, megah dan juga menakjubkan.
"Ambisi gue dan Farhan untuk makan taichan dengan nyaman di Senayan semalam, harus gue hapus dalam-dalam tau Jeng." Sudah ku pastikan ini terjadi, sebab setelah Siska mengabari sudah sampai disana, gemuruh hujan dan petir berdatangan. "Akhirnya yang kami berdua lakukan, cuma bisa makan dalam mobil gak ada suara lalu lalang orang-orang yang ada cuma petir yang bikin gue sama Farhan banyak-banyak ngelus dada, tapi lo sendiri aman kan sampai rumah?"
Aku mengangguk, "aman, lagipula akhir-akhir ini hujan gak mampu menampakan diri sebelum akhirnya turun. Kayaknya dia cuma berani datang kalau petir mau ikutan, makanya semaleman aku gak berani tidur sendiri dan berakhir tidur sama ibu."
Disela-sela kami berlari kecil, percakapan-percakapan kecil itu tercipta. "Sehabis pulang darisana, gue kayaknya gak bisa lagi melabeli Farhan sebagai pasangan yang gagal, Jeng."
"Sebabnya?"
"Permintaan maaf dia dan juga kerelaan dia untuk kembali mengajak gue menjalin hubungan buat gue sadar bahwa cinta dia buat gue ternyata begitu luas sampai bisa membuat dia kembali ke gue, dengan Farhan yang memohon ampun bahwa cuma gue yang mampu menyebrangi dan memaklumi semua kehidupannya." Aku melihat binar cahaya itu lagi pada kedua matanya, Siska begitu senang, senang ketika tau apa yang menjadi kehilangannya kala itu, kembali dengan lebih banyak cinta. "Gue gak pernah sedikitpun untuk bersikap arogan sama dia, gak pernah sedikitpun gue memaklumi kesalahannya, tapi dengan susah payahnya semalam dia kembali meyakinkan kedua orang tua gue bahwa untuk kali ini, Farhan benar-benar gak main-main buat gue." Mereka sudah saling mengenal, sejak lama, sejak SMA. "Kita berhak kan menerima kembali orang yang sudah pergi dengan dia yang kembali membawa cinta dan keyakinan yang lebih dari kemarin? kita boleh kan Jeng?"
Aku mengangguk senang, "Tugas manusia bukan cuma kehilangan lalu saling asing, tapi juga kehilangan lalu kembali merekat. Perpisahan gak selamanya jadi kehilangan yang abadi, tapi juga bisa menjadi jalan bahwa untuk bersama kembali harus sama-sama saling memperbaiki diri." Aku senang melihat Siska begitu senang kali ini, ia tak lagi mengeluh perihal perasaannya. Kali ini, Siska sudah dirayakan berkali-kali, kehilangan apapun yang ia jalani, selalu terganti. Aku cemburu dengan takdir Siska, ia begitu cepat diberikan jawaban atas apa yang menjadi kehilangannya. Tak butuh waktu yang panjang, tak butuh tangisan yang banyak, Siska sudah selalu mampu menyembuhkan sedihnya. Sedangkan aku?
Aku tak pernah mengikuti kegiatan seperti ini, hanya pernah beberapa kali, sebab ketika kakiku dipaksa untuk berlari yang terasa hanya sebuah ngilu yang berakhir ditukang pijit. Aku selalu membawa ini kemana-mana, didalam tas selalu ku simpan dengan sengaja ku semprotkan bodymist lovana varian still me, wangi yang manis yang pernah ku tunjukan padanya, yang tak berhasil ia cium bau nya.
"Gak bosen lo bawa itu mulu?"
"Yang ku tau tentang ini cuma rindu aja Sis. Gak ada kalimat bosan karena memang setiap hari selalu ku bawa kemanapun, iya kan?" Siska mengangguk, kami berhenti ditrotoar yang juga diduduki banyak manusia lainnya.
Siska begitu tau persis, "emang harus dibawa kemanapun? bahkan disaat lo kerja pun yang pertama kali lo tangisin karena ketinggalan tuh, handuk itu?" Iya, hidupku terlalu drama. Aku tak bisa menjauhkan hidupku dari apa yang berkaitan dengannya, bagiku handuk kecil ini satu-satunya yang membuatku tau apa itu arti sebuah obat dari kerinduan, tanpa pertemuan, tanpa sebuah kabar.
"Sulit memang menjabarkan seberapa berartinya sesuatu kalau kita gak paham makna apa yang ada didalamnya." Benar begitu bukan? "semua orang pasti punya satu kepemilikan yang harus selalu ada digenggaman, bentuk apapun itu, sederhananya seperti apa yang ku yakini, handuk ini." Aku menunjukan handuk itu dihadapannya. "Begitu juga seperti apa yang kamu yakini, gak berbentuk barang sepertiku, tapi berbentuk Farhan yang ingin selalu kamu genggam, iya kan?"
Perjalanan kami cukup berliku, kisah asmara yang selalu ku inginkan tak jauh ingin seperti Siska. Ingin rasanya segera tau pada bagian mana aku akan merasakan kembali itu seperti apa yang dirasakan Siska kemarin malam. Aku begitu ragu, sebab sudah bertahun lamanya aku tak pernah lagi memiliki kesempatan untuk dipertemukan.
Aku yakin, bahwa dibeberapa malam ia juga pernah mengingatku sebab rindu. Yakin bahwa dibeberapa kesempatan ia pernah memikirkanku, atau mungkin atau bahkan disela-sela selesai bekerjanya, ia pernah menangis sebab rindunya tak bisa lagi ditemui sebagai aku. Keyakinan ini memang terbilang cukup besar, tapi dibeberapa kesempatan ia memberikan jawabannya padaku bahwa ia pun pernah merasakan hal yang saat ini ku rasakan. Sederhananya senin pagi itu, notifikasi diponselku menunjukan bahwa ia menunjukan atensinya meski dengan cara menyukai apa yang ku tulis.
"Jangan terlalu senang, biasanya disaat lo senang lo pasti kehilangan secuil dari hidup lo." Reaksi Siska saat ku beritahu tentang notifikasi itu. "Gak ada maksud apa-apa, cuma menyukai semua orang pun bisa." Katanya lagi, aku tak peduli, sebab yang jadi fokus utamaku kali ini hanyalah pada sebatas pertanyaan, sepagi ini dia memberikanku notifikasi seperti ini? kalau bukan perkara rindu, lalu apa?
Jalanan untuk kami semua yang melakukan kegiatan minggu pagi ini sudah tertata dan tersusun rapi. Banyak sekali wajah-wajah baru yang baru kulihat sekilas, dengan berbagai bentuk, berbagai reaksi, dan juga begitu bercucuran sebab panas begitu menyengat meski sedikit masih terasa sejuk sisa hujan semalam.
"Percuma dong gue tiap hari pergi ke halte kalau sekarang lo gak nulis disana." Petualanganku untuk menjelajahi setiap sudut yang ku lewati kali ini, menemukan sebuah ganggu yang tak ingin ku jawab tanya nya. Siska didepanku bingung, bertanya siapa orang yang bertanya dibelakangku. "Tapi gapapa, seenggaknya lo jadi tau kehidupan selain halte tuh gimana, iya kan?"
"Jeng, kenal?" Aku menggeleng cepat saat Siska bertanya.
"Hallo, Raditya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan dari Dhia
Ficção Adolescenteku tau, bahwa ini hanyalah tentang waktu. Aku banyak membaca cerita-cerita bahkan menonton mereka-mereka, orang-orang yang sama sepertiku. Terbelenggu dalam kepergian yang disebabkan sendirian, tertanam dalam perasaan yang membuatku terjebak beratus...