Extra Part 2

4.3K 234 8
                                    

Kalau ada seseorang yang bisa mengabulkan keinginan Ervan sekarang juga, ia akan meminta padanya untuk menggantikan Sea yang sedang berjuang melawan rasa sakit ketika mengeluarkan anak mereka.

Setelah beberapa waktu ke belakang ia sering mengeluh sebab Sea banyak minta, banyak mau yang aneh-aneh, Ervan menyesal. Ia akan lebih bersikap baik lagi kepada istrinya. Melihat Sea yang terkadang meringis kesakitan ketika merasakan gelombang kontraksi, hati Ervan ikut berdenyut. Apalagi melihat Sea yang mempertaruhkan nyawa demi kelahiran putranya membuat detak jantung Ervan menggila.

Maka dari sekarang ia akan mengabulkan semua keinginan istrinya termasuk menamai anak mereka 'Eren'. Walaupun Ervan agak merasa gimana ketika melihat anime itu bersama Sea. Tapi demi istrinya, Ervan akan turuti.

"Mas, kalau aku meninggal waktu melahirkan, kamu jangan nikah lagi dulu, ya. Tunggu Eren agak besar, setidaknya sampai dia bisa mengurus diri sendiri."

"Kok, ngomongnya gitu?"

"Kan, seandainya, Mas. Aku cuma gak mau anakku masih kecil belum ngerti apa-apa terus kamu nikah lagi. Iya, kalau istri baru kamu sayang sama Eren juga, kalau enggak, dia bakal terlantar."

Ervan menggeleng keras-keras ketika ingatan percakapan antara dirinya dan Sea beberapa hari lalu, melintas di kepalanya. Tidak. Sea-nya akan baik-baik saja bersama anak mereka. Ervan percaya itu. Sebab tiap kali Sea berkata seperti itu, ia yang ketakutan sendiri.

"Mas, sakiitt." Ervan kembali pada kenyataan, bahwa ia tengah berada di samping istrinya untuk menguatkan.

Ia menunduk untuk mengecup pelipis Sea yang entah ke berapa kalinya. "Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi."

"Tahan sebentar ya, Bu. Bentar lagi dedeknya keluar, sudah kelihatan kepalanya," kata Dokter yang membantu persalinan Sea.

"Sakiitt." Sea kembali merintih, bahkan perempuan itu mengeluarkan air di sudut matanya. Pegangannya pada lengan dan bagian tubuh suaminya yang lain, semakin mengerat seiring dengan rasa sakit yang begitu dalam.

Sea mengikuti instruksi dokter. Mengejan, menarik napas dan mengejan lagi. Ia pun tidak tahu sudah berapa lama berada di ruang bersalin. Rasa sakitnya meski sudah ia salurkan sedikit lewat remasan, lewat jambakan ataupun pukulan pada Ervan, masih saja membuatnya campur aduk. Entahlah, saat seperti ini Sea rasanya sudah tidak bisa apa-apa selain terus berusaha untuk mengeluarkan anaknya dari dalam perut. Bahkan untuk memikirkan hal lain pun, Sea tak bisa. Kalimat-kalimat sayang yang Ervan bisikkan di telinganya, tak ia pedulikan.

Ketika kesadarannya mulai menipis dan Sea rasa nyawanya hampir melayang, ia mendengar sesuatu menangis keras. Seketika itu pula kesadarannya kembali. Ia menatap haru bayi yang hanya kelihatan kepalanya saja tengah digendong menjauh untuk dibersihkan.

Itu anaknya!

...

"Hai."

Sea yang tengah memandang langit-langit, menoleh pada seseorang yang baru saja keluar dari toilet. Suaminya. Yang sekarang kelihatan lebih rapi penampilannya dibanding tadi.

Bekas cakaran, jambakan dan remasan yang tadi ia perbuat pada Ervan, berbekas begitu kentara. Sea dapat melihat tangan suaminya yang sedikit luka, lalu rambut yang paling kentara. Terlihat sekali acak-acakan. Tapi yang paling ia kagum, selama persalinan tadi Ervan seperti bukan dirinya. Selama ini yang Sea kenal, Ervan adalah sosok menyebalkan yang selalu mengganggu ketenangan dalam hidupnya. Bahkan ketika sudah menjadi suami istri pun, tak jarang Ervan berlaku semena-mena dengannya. Tapi tadi, lelaki itu sungguh berbeda hingga membuat rasa haru di dada Sea menyeruak.

Bagaimana ketika laki-laki itu membisikkan kata-kata untuk menyemangatinya. Lalu kalimat-kalimat sayang yang terdengar hangat dan romantis, jarang sekali Ervan katakan. Ucapan terimakasih, dan segalanya laki-laki itu ucapkan. Bahkan hal random sekali pun Ervan katakan ketika tadi menemaninya selama persalinan.

Love At First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang