MIRROR

50 13 0
                                    

Celana jeans kebesaran, kaus ketat berwarna putih, Yuana melenggok tidak perduli melewati koridor mewah kampusnya.  Ada perasaan tidak enak dalam dirinya, karena ia merasa kalau semua orang yang ada di tempat itu diam-diam memperhatikannya. 

" Yuan, " ucap Febri yang tiba-tiba datang ke hadapan Yuan dan menghentikaan langkahnya. 

" Aku gak punya waktu, aku ada kelas," balasnya dingin. 

" Ini lebih penting dari kelasmu," tegas Febri menatap serius pada Yuan. 

Yuan tampak sangat lelah dengan semua drama yang telah ia dapati semenjak datang ketempat itu.

" Aku tau apa yang ingin kau bicarakan. Tapi maaf, aku bukan kau Febri," ucap Yuan dan hendak melanjutkan langkahnya. 

brukh...

Yuan kaget dengan apa yang terjadi padanya. 

Sebuah bola basket terlempar tepat mengenai kepala Yuan. 

beberapa detik kemudian, Stevano dan kawan-kawan datang, di sambut dengan Juan yang langsung merangkul Febri. 

" Aku benci pada orang -orang yang tidak mau mendengarkan Febri," ucap Juan sambil memandang dingin pada Yuan yang sedang geram. 

" Kau terlalu angkuh untuk ukuran seorang perempuan," ucap Adit sambil cengengsan. 

" Kau, akh... 

Yuan terjatuh karna bola basket kembali ngehantam lengannya dengan keras hingga gadis itu terjatuh. 

" Kau pikir, karna kau seorang perempuan, kami  akan takut? " ucap Stevano yang ternyata dengan sengaja melempar Yuana dengan bola basket itu. 

Yuana benar-benar geram pada ketiga lelaki itu. 

Dengan tatapan kesal, Yuan bangkit dari lantai, mengutip buku dan tasnya yang ikut terjatuh bersamanya. 

" Kau masih berani berlagak?" ucap Adit dengan nada yang meninggi, 

" Hanya itu?" ucap Yuan sambil menepis debu di bajunya. 

Stevano cs terdiam. 

Yuan berjalan mendekati bola basket yang tercecer tak jauh dari tempat ia berdiri, mengutipnya, yang kemudian melangkah mendekati stevano. 

" Ambil, ulangi!" ucapnya dengan tatapan dingin. 

lelaki itu terperanjat dengan apa yang di lakukan Yuan. 

Stevano tidak dapat melepas tatapannya dari hezel milik Yuan, ntah perasaan apa yang timbul di dalam hatinya. Marah? kesal? sedih? terhina? ia tak tau pasti. Tetapi ada perasaan mengganjal yang membuat Stevan kebingungan. 

" Kau tidak dengar? ambil!!" ucap Yuana dengan suara yang tak gentar sedikit pun. Tetapi Stevano tidak bergerak  sedikitpun.

" Stevan, apa yang, akh...

"Adit...

Adit yang semula ingin menghampiri Stevano, kini terkapar jatuh karena di lempar bola basket oleh Yuana. 

Akh... 

Adit mengerang kesakitan, karena dadanya terlempar bola. 

Yuan tersenyum miring, yang kemudian berjalan mendekati Adit dan kembali mengambil  bola basket yang tergeletak tak jauh dari tubuh adit. 

" Sakit?" tanya Yuan setelah berhasil mengambil bola basket itu. 

Adit tidak menjawab, ia hanya menatap nanar pada gadis itu. 

" Sebelum melakukannya pada orang lain, baiknya kalian rasakan sendiri , lalu pertimbangkan, tetap ingin membuat orang merasakan hal tersebut atau tidak," ucap Yuan lalu mengarahkan pandangannya pada stevano. 

Yuan melangkah mantap, tanpa memutus pandangan lurusnya kearah Stevano.

brugh...

bola basket itu di serahkan secara kasar oleh Yuana pada Stevano, " Berterima kasih pada temanmu, karna telah bersedia menggantikanmu," ucap Yuan yang kemudian meninggalkan Febri dan ketiga orang bersahabat itu. 

Stevano Pov

" Aku bingung, kenapa kau biarkan pel*cur itu merendahkan kita di hadapan seluruh mahasiswa," Juan berteriak setelah melempar gelas hingga pecah ke dinding, sementara itu, Stevano tampak diam sambil menatap kosong televisi dengan layar hitamnya karena tidak di nyalakan. 

" Kau tau, aku merasa tidak punya harga diri saat ini Stevano," ucap Adit. 

" Sekarang kau mau apa? aku bahkan tidak punya keberanian untuk muncul ke muka umum," ucap Adit. 

Hheh...

terdengar seringai pendek penuh makna dari Stevano. 

" Apa yang lucu Stevan, kau mau ikut menertawai harga diri kita?!!" protes Juan. 

" Aku tidak tau, kenapa kalian tidak mengerti dengan apa yang baru saja kita temukan." 

" Temukan apa? menemukan kenyataan kalau kita kalah oleh seorang gadis?" tuntut Adit. 

Beberapa detik kemudian, baik Juan maupun Adit, tak ada yang berani berbicara. Ntah mengapa, mereka merasa kalau aura Stevano beubah menjadi mengerikan. Panas dan mematikan. 

" Kita baru saja menemukan lawan yang seimbang. Selama ini kita hanya menginjak kutu kutu busuk yang memuakknya. Hal yang membuatku bosan setiap harinya. Tapi kali ini, rasanya semangatku kembali. Kita menemukan mainan yang selevel dengan kita. tetapi kupikir, mainan ini di peruntukkan khusus untukku. Jadi, aku tidak ingin kalian menyentuh mainanku. Aku ingin bermain sendiri. Aku ingin menjinakkan serigala betina ini," 

" Tidak, aku tidak set, 

Juna tidak berani meneruskan kalimatnya ketiaka Stevan menatapnya dengan tajam. 

" Aku tidak menerima bantahan Juna. Tidak ada yang boleh menyentuh mainanku." tegasnya dengan tatapan mematikan. 

~"~

" Yuana aku mau ngomong,"

" Stop Febri, kau memuakkan. Aku gak punya waktu dengan semua omong kosongmu,"

" Ini bukan omong kosong Yuana, aku ingin menyelamatkanmu,"

" Dari apa?!! Stevano dan kawan-kawannya?!!" Febri terdiam. 

" Aku bukan kau Febri, aku bukan gadis bodoh," ucap Yuan sambil melengos. 

" Kau akan menyesal Yuan," ucapan itu menghentikan langkah Yuana. 

" Kau tidak tau apa yang akan kau lewati. mereka akan menghancurkanmu sehancur-hancurnya. Kau tidak akan bisa lari," ucap Febri sambil menitikkan air mata. 

Yuan berbalik dan menatap Febri. 

" Kau tidak tau bagaimana mereka menghancurkan setiap orang yang melakukan perlawanan pada mereka. Kau tidak akan punya masa depan, mereka akan menghancurkan semua itu," teriak Febri dengan sedikit terisak. 

Yuan hanya menatapnya dengan tatapan datar. 

" Kau tau Febri, apa yang membedakan antara aku dengan kau. Lebih baik aku jadi pecundang setelah perlawananku, dari pada menyerahkan diri untuk di pecundangi. Paling tidak, aku sudah bertanggung jawab untuk harga diriku." tegas Yuana dan meninggalkan Febri yang saat ini berputus asa karena tidak berhasil mencairkan otak es sahabatnya. 

Di sisi lain, ada sepasang mata yang menyaksikan tragedi kedua sahabat itu, 

bibirnya tersenyum miris, ia seakan tau, kelanjutan certa dari apa yang sedang terjadi. 

" Aku rasa benar, hanya Stevano yang berhak bermain," ucapnya dengan senyum miring penuh makna. 

PIECE OF  HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang