2; perjaka 45

1.7K 72 2
                                    

Sisa chapter ada di Karyakarsa: anurie

Saat tiba di empang, tentunya aku tak langsung kabur untuk pulang, selain aku yakin situasi tak kondusif, aku juga ingin menghormati Cakra yang menyelamatkanku dari ibu-ibu dengan memancing di parit, walau aku ragu ia memahaminya. Kami duduk bertitian berdua dan mulai, aku memasang umpan cacing di sana, sebelum akhirnya melemparkan ke air. Cakra jelas melakukan hal yang sama.

Ini lumayan menenangkan, sepertinya, dari pemikiran sebelum-sebelum ini.

"Udah lama, ya, Dek Tyona, kita enggak mancing bareng. Kalau diinget, kayaknya pas kita bocil, ya." Tiba-tiba, Cakra berkata, aku jadi teringat masa lalu.

Aku berusia 27 tahun saat ini, dan Cakra, kalau tidak salah 45 tahun, beda 18 tahun. Kami memang kadang bermain bersama anak-anak lain, kali pertama bertemu sepertinya saat usiaku 7 tahun dan dia sudah 25 tahun, bukan bocah, tetapi mentalnya mungkin bahkan lebih muda dariku. Pria keterbelakangan ini memang senang bermain dengan anak-anak karena dia, kurang, tetapi sekarang dia sudah cukup dewasa dan agaknya mungkin usia mentalnya 20 tahunan. Lalu, sesuai ibu-ibu bilang tadi, Cakra memang perjaka tua, dia belum menikah meski wajahnya lumayan rupawan.

Bukannya tak ada yang mau dengannya, terlepas kekurangannya ini dan kerjaannya hanya mancing, dia sebenarnya mewarisi tanah berhektar-hektar yang sekarang jadi hutan bebas untuk dimanfaatkan warga, milik mendiang Mbah Agus, ayah Cakra. Mengincar harta saja pastinya, tetapi dia sendiri pun enggan menikah, pria terbelakang ini lebih senang hidup sederhana begitu. Entahlah, pemikirannya memang kurang, tak kaget harusnya. Ada kabar sih tanah itu sudah pindah tangan, tetapi simpang siur.

"Dek? Ada apa?" Aku baru sadar aku terdiam karena hanyut dalam pikiranku sendiri.

"Ah, gak apa, Bang. Iya, udah lama gak mancing, rasanya nostalgia, eh!" Aku mengangkat pancingan, seekor lele aku dapatkan, cukup besar. "Dapet duluan, Bang. Hehe."

"Waaah, lele, masukin ke wadah, Dek." Aku siap melakukannya, tetapi lele agak licin. "Aw." Duh, sulit.

"Sini Abang bantu, Dek." Cakra membantuku melepaskan ikan itu dari kail, kemudian memasukkannya ke wadah. "Penglaris, Dek."

Aku tertawa. "Kayak jualan aja, Bang."

Tak lama, ikan kedua naik dari joran Cakra, kali ini patin sungai. Ikan yang didapat kelihatan segar, empang ini pun masih terjaga warna jernih murninya meski banyak teratai membuat tak terlihat isinya. Menikmati suasana begini memang menyenangkan.

Apalagi, selalu dapat ikan, tingkat kefrustrasian pemancing biasanya langsung turun drastis saat mengangkat dan ada ragam ikan di sana.

Bahkan, kami mendapat lobster air tawar cukup besar. "Ini enak, nih. Waaah."

"Dek, nanti ikut masak di rumah kamu, ya, sama makan," kata Cakra tanpa malu, karena memang kadang orang tuaku menyantuni anak malang itu.

"Iya, Bang, tapi aku minta lobsternya ya?"

Cakra mengangguk. "Iya, Dek."

Karena keasyikan mancing, tanpa sadar hari menyore, aku pun baru sadar terlalu terlena dengan ikan-ikan yang didapat sampai umpan tiada bersisa. Tak terlalu buruk, toh kerjaanku beres di rumah, aku dan Cakra pun pulang ke rumahku.

"Aduh, abis dari mana kamu, Tyona?" tanya ibu. "Eh, Cakra," kata ibu melihat keberadaan Cakra yang berdiri di sampingku.

"Ibu, mau masak ini di sini ya!" Cakra mengangkat wadah berisi ikan kami. "Ini aku sama Dek Tyona yang mancing, lho."

"Oh, jadi kamu mancing sama Cakra?" Aku mengangguk, ibu lalu menyingkirkan badan dari pintu. "Kamu siangin sendiri ya, Cakra."

"Oke, Bu." Cakra mulai melangkah masuk duluan.

"Kamu jangan kelayap-layapan tanpa bilang, Tyo. Kami khawatir, lho."

"Hehe, maaf, Bu, sebenernya gak bermaksud mancing bareng Bang Cakra lama-lama, aku tadi cuman pengen jalan, eh keblablasan." Ibu geleng-geleng miris. "Lagian gak jauh-jauh kok, mungkin nanti aku juga bakalan mancing aja sama Bang Cakra abis kerjaanku beres." Kalau sisanya sih aku sudah bisa lepas tangan.

"Aduh, Tyo, kamu ... jangan deket-deket sama Cakra, deh, takutnya kamu ... ketularan gak dapet jodoh."

Mataku melotot. "Bu, kok jahat banget ngomongnya?" Ibu sepertinya terhasut sekitar dan terlalu takut anaknya jones. Ini menyakitkan kala keluar dari mulut ibu sendiri. "Ibu kira penyakit berbahaya apa, ampe menular?"

"Maafin Ibu, tapi Ibu gak mau kamu kesepian, Sayang, Ibu--"

"Aku ngerti, Bu, tapi aku belum siap. Ibu pasti ngerti maksudku." Aku menatap ibu dalam-dalam, dan dia terdiam selama beberapa saat.

"Maaf, Ibu gak akan maksa, tapi ini untuk kebaikan kamu sendiri, Tyona." Aku menghela napas, aku mengerti kekhawatiran wanita yang melahirkanku itu.

Tanpa berkata sepatah kata lagi, aku masuk kamar, mengambil handuk dan perlengkapan mandi sebelum akhirnya mandi di kamar mandi. Selesai membersihkan diri, aku pun beranjak ke dapur, dan sepertinya Cakra selesai membersihkan ikan-ikan tangkapan kami.

"Dek, ini udah semua, Abang mau pulang buat mandi dulu," kata Cakra.

"Iya, Bang." Aku mengangguk, pun dia beranjak pergi. Mulai aku beri bumbu ikan-ikan tersebut, marinasi sebentar, barulah digoreng. Beberapa ada yang aku rebus menjadi sop karena bapak sudah berkuah.

Tak lama, adik dan ibu datang dan memberi bantuan, sementara ayah tak lama pun pulang dari kandang kambingnya. Semua makanan beres, tinggal ditata, dan akhirnya kami duduk di lantai saja, tak ada meja makan di sini, bukan karena tak mampu sih belinya tapi memang terbiasa begini.

Sekarang, kami hanya menunggu seorang lagi ....

"Udah masak kah semuanya?" Itu dia orangnya, Cakra.

"Cakra, duduk sini! Jadi kalian mancing lagi kek dulu, ya?" kata bapak, tertawa pelan, dan Cakra pun duduk, tepat di antara aku dan Bapak.

"Banyakan Dek Tyona dapet, tangannya tangan bawa beruntung," puji Cakra, kami hanya menertawakannya.

Kami pun makan bersama, dan dari mana asal badan besar itu? Karena Cakra makan versi jumbo. Namun, uniknya sih, Cakra berotot, dia mungkin work out setiap pagi entah bagaimana metodenya. Sekitar tiga kali dia nambah, barulah kenyang, gila memang.

Sebagai cewek, porsiku bahkan hanya setengah piring, diet.

Namun, aku senang bisa makan lobster air tawar walau kulitnya keras sekali.

"Bang, besok Abang mancing lagi?" tanyaku.

Cakra jelas mengangguk. "Iya, Dek, mau ikut?"

Aku mengangguk. "Mau." Mungkin nanti aku akan terus ikut sampai bosan sendiri. Nostalgia.

"Iya, Dek!"

Aku tersenyum semringah dan kemudian menatap ke depan, saat itulah aku lihat keluargaku sempat bertukar pandang. Benar-benar deh mereka, hah ... aku abaikan saja.

Selesai makan bersama itu, Cakra pun pamit pulang, sedang aku menuju ke belakang rumah bersama ponselku, mencari jaringan untuk menghubungi teman-temanku. Saat siang sinyal super duper lelet, kalau malam agak mendingan, tetapi jelas aku harus mencari spot dengan sinyal tertinggi ....

Dapat!

Dan aku pun mengabari soalku di sini, sampai sinyal hilang lagi, tetapi aku dikejutkan dengan cahaya menyorot wajahku.

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang