14 - Husnuzon

162 43 3
                                    

.

.

Mereka ingin kita bertengkar dengan sesama kita, sebenarnya. 

Dan memang, mereka jagonya provokasi. 

Tapi alhamdulillah. Allah karuniakan kita husnuzon. 

.

.

***

Alis Adli berkerut dalam, mendengar pertanyaan Elaine padanya barusan.

"Om punya teman atau kenalan yang namanya 'Elaine'?"

Elaine diam setelahnya, namun sorot matanya menuntut jawaban.

"Kenapa kamu tanya begitu?" tanya Adli, setelah bengong sekian detik.

"S-Soalnya ... gak apa-apa. Jawab aja, Om!" desak Elaine.

Adlj menyipit matanya. Seiring dengan makin dekatnya interaksi mereka, Elaine lama-kelamaan jadi berani ngotot padanya.

Adli menghela napas. Soal apa sih, ini? Adli membatin sambil menggeleng pelan. "Gak ada. Aku gak punya teman atau kenalan yang namanya Elaine. Namamu tuh gak umum di Indonesia, tau. Kalo di luar negeri, baru banyak yang namanya Elaine. Udah puas sama jawabanku? Ngapain sih tanya gitu segala?"

Elaine matang wajahnya. Adli menatapnya heran. Kenapa sih? Ajaib.

Elaine menundukkan pandangan, tak berani menatap mata Adli. Berarti, waktu malam itu Elaine mendengar Adli mengigau menyebut namanya --

"Tapi, kalau nama yang mirip 'Elaine', ada, sih. Mantan pacarku dulu yang namanya Elena," lanjut Adli, membuat Elaine berubah air mukanya.

Elena?? batin Elaine. Jangan-jangan, waktu itu dia salah dengar! Bukan 'Elaine' yang dipanggil-panggil Adli saat tidur di kamar Uyut, melainkan nama 'Elena'. Kalau didengar sekilas, mungkin terkesan sama.

"Mantan pacar Om?" tanya Elaine. Berharap nada cemburu tidak terdengar pada suaranya.

"Iya. Waktu SMU dulu. Cuman pacaran beberapa bulan, sih. Kata temen-temenku, Elena setelah lulus, kuliah di fakultas hukum. Sekarang jadi kuasa hukum, katanya. Eh iya! Mungkin aku bisa minta bantuan dia untuk jadi kuasa hukum Kak Yunan, Kak Raesha, anak-anak, dan buatku juga!" seru Adli terdengar bersemangat seolah baru mendapatkan ide brilian.

"Kenapa Om juga? Memangnya Om terlibat waktu kejadian rumah Tante Raesha dimasuki pelaku?" tanya Elaine heran. Dia sebal sebenarnya. Kenapa dia jadi diceritakan segala tentang mantan pacar Adli yang ternyata sekarang jadi kuasa hukum?

"Kamu gak tahu kalau pelaku ditembak bahunya oleh salah satu pengawal kita?" tanya Adli heran.

Elaine menggeleng. "Gak tahu," jawab Elaine. Memang, dia kurang memperhatikan berita di televisi. Dan Abinya juga tidak banyak bicara. Yang dia tahu hanya, Tante Raesha dan anak-anaknya diserang malam-malam oleh pelaku itu yang adalah pembunuh almarhum Om Ilyasa, lalu Abinya datang dan menggagalkan rencana jahat orang itu.

"Sobri tertimpa rak besi yang didorong Kak Yunan. Pas Kak Yunan mau mengikat Sobri, Sobri tersadar. Rupanya dia cuma pingsan sebentar. Dia masih nekat mengancam Abimu pakai pisau. Jadi pengawal yang kukirim ke sana, terpaksa nembak Sobri," jelas Adli.

"Ya Allah!" seru Elaine terkejut. Elaine sama sekali tidak tahu kalau ada pistol terlibat. Pistolnya keluarga Danadyaksa pula.

"Ya ampun, Elaine. Abimu gak cerita apa-apa sama kamu?"

Elaine menggeleng. Abinya memang begitu. Kalau tidak ditanya, tidak akan cerita. Kalau bertanya pun, belum tentu dijawab.

"Makanya, sebentar lagi, aku kemungkinan dapat panggilan juga ke kantor polisi. Karena itu -- syukurlah kamu tanya barusan. Aku jadi ingat mantanku yang namanya Elena itu. Dia bisa jadi kuasa hukum kita. Lebih enak 'kan, kalau urusannya dengan orang yang kita kenal," kata Adli tersenyum jumawa.

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang