3). Welcome home, Sayang

36 6 2
                                    

"Iya, Tante."

"Maaf ya, Tante malah lagi pergi waktu kamu nginap di sana."

"Duh, gak apa-apa, Tante. Malah Nat berterimakasih banget sudah mau ditampung sehari di sini."

"Ih, bahasanya kayak apa aja ditampung." Mama Gaby mendecak tak suka di seberang sana. "Malah tante senang kalau kamu atau Deva datang berkunjung. Sudah kayak ke anak sendiri sama kalian tuh, jadi bebas mau datang ke rumah kapan aja, Nat."

"Iya, makasih banyak ya, Tante. Udah mau nerima Nat sama Deva."

"Sama-sama. Nanti hati-hati di jalan ya, Sayang. Kalau masih capek, nyuruh Gaby aja temani ke rumah Ibu. Biar dia yang nyetir."

"Enggak, kok. Tenaga Nat udah pulih kembali, hehe." Natasha terkekeh pelan. "Ya sudah. Nat mau berangkat dulu ya, Tan. Kapan-kapan ke sini lagi."

"Iya, sayang. Tante tutup, ya. Semoga selamat sampai tujuan."

Gaby, yang berada di dekat Natasha juga ikut mengaminkan doa keselamatan untuk temannya. Ia raih ponselnya begitu wajah Mama sudah tak nampak lagi di layar.

"Mau dianterin ke rumah Ibu gak?" Tawar Gaby. Barangkali Natasha memang masih capek.

Tapi perempuan itu menggeleng singkat. "Gak usah, Geb. Gue beneran udah gak capek, kok."

"Gak apa-apa, Nat. Biar gue yang nyetir sekarang, nanti lo tinggal nyetir ke rumah doang. Sambil ngumpulin tenaga lagi mah gitu."

"Terus nanti lo pulangnya?"

"Lo gak usah anter gue lagi. Jadi putar balik dong," decak Gaby pelan. "Gue bisa pesen ojol atau minta jemput."

Sok-sokan. Padahal dalam hati, Gaby ogah banget tiba-tiba menghubungi Ardan untuk menjemputnya.

"Gak apa deh, Geb. Gue ke rumah Ibu sendirian aja."

Kalau begitu, Gaby tidak akan memaksa. "Ya udah. Hati-hati di jalan ya. Kalau udah sampai ngabarin, jangan lupa."

Natasha yang tengah mengambil beberapa barangnya mengangguk. Ia menghampiri Gaby dan memeluk perempuan itu. "Gue pulang dulu, ya. Makasih udah mau nampung gue di sini."

Nat langsung mendapat pukulan ringan di pundaknya ketika baru menyelesaikan kalimatnya. Terdengar, Gaby mendengus tak suka.

"Santai, Nat. Kayak sama siapa aja, sih!"

Perempuan itu—Natasha—terkekeh. "Baik-baik lo, Geb. Bahagia selalu. Jangan galak terus sama suami."

Soalnya, selama Nat masih berada di sini tadi, ia melihat interaksi Gaby bersama suaminya. Alih-alih bersikap romantis, Gaby kelihatan sedang menghadapi musuh. Kelihatan kesal terus jika dekat suaminya.

"Lo juga, harus bahagia. Jangan terpuruk lagi, sudah saatnya lo cari jodoh, Nat," kata Gaby. "Apa gak iri lo lihat Deva udah punya anak?!"

Nat mendelik setelah beberapa saat ia terlepas dari pelukan. "Perasaan yang pengin bayi itu lo, ya. Berarti yang iri itu lo, bukan gue!"

"Iya, iya, gue iri. Gue juga pengin adik."

"Kok, adik? Anak aja sekalian, Geb," ucap Natasha. Memang aneh temannya yang satu ini. "Orang tua lo udah gak perlu lagi produksi anak. Sekarang giliran lo yang produksi. Bikin banyak-banyak dah, biar gue kebagian satu."

Gaby dengan santainya menoyor kepala Natasha. "Yee! Dikira bikin donat. Gampang banget kalo ngomong."

Nat kembali mengeluarkan tawa. Ia menggerakkan tangannya, menepuk beberapa kali pundak Gaby. "Dah, gue mau berangkat sekarang. Jangan lupa, kalau gue ke sini lagi perut lo harus udah isi bayi."

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang